REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Muhammad Nursyamsi, Antara
Belakangan muncul klaim-klaim atas obat yang diyakini bisa mencegah atau bahkan mengobati Covid-19. Yang paling menghebohkan adalah klaim Hadi Pranoto yang wawancara viralnya kepada penyanyi Anji berbuntut proses hukum atas dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai, setidaknya ada empat poin utama penyebab maraknya bermunculan klaim obat Covid-19 di Tanah Air sehingga meresahkan masyarakat.
"Pertama, hal itu terjadi karena buruknya politik manajemen penanganan wabah oleh pemerintah sejak awal," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Abadi Tulus saat diskusi daring dengan tema klaim obat Covid-19 yang dipantau di Jakarta, Senin (10/8).
YLKI menilai sejak akhir Februari hingga saat kini, penanganan politik manajemen terkait pandemi oleh pemerintah masih kurang maksimal. Menurut Tulus, pada awal masa pandemi, pejabat publik tidak memberikan contoh yang baik dalam menghadapi Covid-19. Ia mencontohkan, adanya istilah nasi kucing yang membuat Indonesia kebal dari virus tersebut dari salah satu petinggi negara.
"Selevel pejabat publik juga memberikan contoh yang kurang baik, membodohkan dan kurang mencerdaskan. Kalau ada klaim-klaim bermunculan itu sebenarnya efek dari semuanya," kata Tulis menegaskan.
Kemudian, poin kedua ialah kurangnya literasi kepada masyarakat terkait produk obat-obatan selama pandemi terjadi. YLKI mendorong peningkatan literasi masyarakat konsumen terhadap produk obat, jamu tradisional dan herbal, sehingga masyarakat mengerti apa yang diiklankan itu adalah bohong dan tidak bisa menyembuhkan.
Faktor ketiga yang mengakibatkan maraknya klaim obat bermunculan untuk penyembuhan Covid-19 berkaitan dengan aspek psikologis konsumen. Masyarakat menjadi takut terinfeksi karena hingga kini belum ada vaksin untuk penyembuhan.
"Akibatnya, banyak masyarakat mencari jalan ke luar sendiri untuk membuat obat dan melakukan pengobatan sendiri," katanya.
Secara undang-undang masyarakat dibolehkan melakukan pengobatan mandiri. Namun, jika produk tersebut dikomersilkan, iklan dan sebagainya maka bisa menjadi persoalan.
Selain itu, tekanan ekonomi yang terjadi akibat adanya pemutusan hubungan kerja dan pengurangan pendapatan mengakibatkan banyak orang mencari alternatif pemasukan lain salah satunya dengan cara klaim obat tersebut. Terakhir, penyebab maraknya klaim obat Covid-19 ialah lemahnya atau kurang optimalnya penanganan aspek hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah terjadi.
"Saya kira empat hal ini yang melingkupi mengapa klaim obat Covid-19 itu menjadi marak," ujar dia.
Pada kesempatan itu, YLKI menyarankan pemerintah dalam memecahkan masalah klaim obat Covid-19 tidak bisa hanya dilihat dari aspek mikro tetapi juga makro termasuk dari hulu dan hilirnya. Tulus juga berpesan agar masyarakat lebih berhati-hati terhadap segala bentuk obat Covid-19 yang beredar. Sebab, secara internasional pun belum ada yang bisa menemukan satu obat atau vaksin yang pasti bisa menyembuhkan.
Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Erick Thohir menegaskan, hingga kini belum ada satu pun obat untuk menyebutkan pasien yang terjangkit Covid-19. Erick menyampaikan, yang selama ini diberikan tenaga medis kepada pasien ialah terapi penyembuhan berkelanjutan.
"Kadang-kadang orang bilang ada obatnya seperti yang kemarin ramai di televisi. Obatnya belum, yang ada itu terapi apakah herbal tidak apa-apa kalau selama baik, tapi kalau itu dibilang obat ya belum," ujar Erick saat berdiskusi di kantor Kadin, Jakarta, Senin (10/8).
Erick menyampaikan pemanfaatan herbal juga memiliki kontribusi dalam penanganan Covid-19, baik di Indonesia maupun China sebagai tempat awal Covid-19 bermula.
"Terbukti di Surabaya sekarang penurunannya salah satunya gara-gara herbal, di China sendiri awal-awalnya (turun) karena herbal. Kadang-kadang kita juga lucu antijamu tapi senengnya yang impor-impor," ucap Erick.
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik BPOM, Mayagustina Andarini menjelaskan obat untuk Covid-19 saat ini masih dilakukan penelitian dan uji klinis. Hal ini berarti, ketika ada obat yang beredar masih belum teruji keamanannya kepada manusia.
Maya menjelaskan, Indonesia memang memiliki berbagai macam obat herbal dan ramuan empiris. Berbagai ramuan yang berupa jamu seperti beras kencur, temulawak, dan kunir asem memang sudah terjamin kesehatannya karena telah dikonsumsi secara turun temurun.
Namun, akan sangat berbeda dengan obat Covid-19. Penyakit ini baru saja muncul pada awal 2020. Tentunya, ramuan dari nenek moyang masyarakat Indonesia tidak ada yang menjamin dapat menyembuhkan penyakit Covid-19.
"Kalau ada penemuan ramuan untuk Covid-19, penyakit ini kan baru, tidak ada zaman nenek moyang kita. Jadi kalau ada obat ya harus dilakukan uji," kata Maya, dalam telekonferensi, Senin (10/8).
Ia menjelaskan, pemerintah sangat terbuka dengan adanya ide-ide mengenai obat atau vaksin untuk Covid-19. Namun, segalanya harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada, yakni melalui tahapan uji klinis.
"Jadi kita bukan menutup bahwa klaim anticovid itu tidak boleh. Tapi kita sedang lakukan penelitian, belum selesai. jadi, kalau saat ini ada yang klaim itu, sampai saat ini kami belum keluarkan," kata dia lagi.