REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai, kembalinya Prabowo Subianto sebagai ketua umum Partai Gerindra bisa diterjemahkan dua hal. Pertama Gerindra belum memiliki tokoh dengan pengaruh elektabilitas Parpol melebihi atau sekurang-kurangnya setara Prabowo. Kedua, jelas membawa pesan jika Prabowo masih berharap mengusung dirinya sendiri di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Ini sekaligus menandai gagalnya Gerindra dalam regenerasi kader. Potensi kekalahan Prabowo jauh lebih besar dibanding Pilpres 2019. Karena 2024 menjadi momentum tokoh-tokoh generasi di bawah Prabowo," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) tersebut saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (9/8).
Memang, Kurnia menambahkan, bisa saja Prabowo mendapatkan kesempatan memenangi Pilpres 2024. Namun harus berhasil mendapatkan pasangan dengan reputasi yang baik, minim haters, dan didukung Parpol dominan. Jika Gerindra memilih pasangan dari kalangan sendiri seperti 2019, maka bisa dipastikan Prabowo hanya ingin mengikuti pemilihan tanpa upaya menang.
Apalagi, Kurnia berpendapat, kondisi publik hari ini sudah jenuh. Bahkan IPO dalam periode riset Juni lalu, Prabowo semakin menurun elektabilitasnya. "Kejenuhan publik terlihat sejak Prabowo memutuskan bergabung dengan pemenang Pilpres, dan itu sekaligus membuktikan rencana-rencana besar Prabowo saat kampanye untuk pemerintah tidak terimplementasi," tutupnya.