REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Kota Bandung, menjadi salah satu kota dengan tingkat kemacetan tertinggi di kawasan Asia. Menurut menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, berdasarkan data Bank Dunia pada 2019, kerugian ekonomi akibat kemacetan di lima kota metropolitan Indonesia, yaitu Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, dan Makassar mencapai Rp 12 triliun per tahun.
"Bandung dan Jakarta masuk dalam daftar kota termacet di Asia," ujar Budi pada Webinar yang digelar Sekolah Managemen Bisnis (SBM) Institur Teknologi Bandung (ITB), Rabu (5/8). Webminar tersebut bertajuk 'Peranan Transportasi Daring dalam Penggunaan Transportasi Umum Massal Gagasan untuk Itegrasi Antarmoda dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru'.
Sementara Jakarta, tingkat kemacetannya mencapai 53 persen. Bahkan, Jakarta berada pada deretan 10 besar kota termacet di Asia. Kerugian ekonomi yang diakibatkan kemacetan lalu lintas di Jakarta mencapai Rp 65 triliun per tahun.
"Kemacetan menjadi salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia," katanya.
Menurutnya, posisi lima pelabuhan terbesar Indonesia yang berada di kota metropolitan membuat kemacetan menyumbang tingginya biaya logistik di Indonesia. Biaya logistik itu mencapai 24 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Selain itu, kata dia, kemacetan juga menekan kontribusi urbanisasi dalam PDB per kapita. Di Indonesia 1 persen peningkatan urbanisasi hanya berdampak pada peningkatan 1,4 persen terhadap PDB per kapita.
Padahal di China, kata dia, 1 persen peningkatan urbanisasi berdampak pada peningkatan 3 persen PDB per kapita. Sementara di negara-negara Asia Timur dan Pasifik lainnya dampak 1 persen peningkatan urbanisasi berkontribusi meningkatkan 2,7 persen PDB per kapita.
"Solusi untuk kemacetan adalah penggunaan angkutan umum yang terintegrasi," katanya.
Namun persoalannya, kata Budi, di Bandung, Jakarta, dan Surabaya, pangsa pasar angkutan umum kurang dari 20 persen populasi. Padahal, pangsa pasar angkutan umum di Kuala Lumpur dan Bangkok mencapai 20 sampai 50 persen.
"Singapura, Hongkong, dan Tokyo memiliki pangsa pasar angkutan umum lebih dari 50 persen," kata Budi.
Untuk mendorong peningkatan penggunaan angkutan umum, kata Budi, perlu integrasi antarmoda. Dengan demikian, pengguna angkutan umum tidak perlu sering berpindah, mendapatkan kepastian jadwal, dan tidak perlu membayar berkali-kali untuk moda berbeda.