Selasa 04 Aug 2020 10:05 WIB

Menteri PPPA: RUU PKS tak Dapat Ditunda Lagi

Puna mengesahkan RUU PKS, tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendirian.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga
Foto: Dok Kementrian PPPA
Menteri PPPA, Bintang Puspayoga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mendukung penuh Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Bintang memandang perlunya sistem perlindungan komprehensif bagi seluruh rakyat dari segala bentuk kekerasan, terutama bagi perempuan dan anak.

Pembahasan RUU PKS mulai dari konsep, naskah akademik, sampai dapat menjadi rancangan undang-undang melalui proses yang sangat panjang. Tak pelak pro dan kontra juga terus mengiringi pembahasannya sampai sekarang.

"Melihat dari data yang ada saat ini dapat dikatakan Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Hal ini yang menjadi salah satu urgensi dari disahkannya RUU PKS sudah tidak dapat ditunda lagi," kata Bintang dalam keterangan pers yang diterima Republika pada Senin (3/8).

Bintang mengakui, guna mengesahkan RUU PKS, tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Dia mengajak semua elemen bangsa, terutama pegiat hak anak dan perempuan, pada momentum ini sebagai kesempatan mewujudkan sistem penghapusan kekerasan seksual yang komprehensif dan berperspektif korban.

"Terutama saya ajak kepada seluruh mahasiswa, sebab kalian merupakan penyambung lidah rakyat yang memiliki peran penting merupakan kekuatan yang luar biasa," ujar Bintang.

Dikatakan Bintang, ada asumsi bermunculan akibat interpretasi terhadap RUU PKS ini menimbulkan polemik. Masyarakat pun terbelah ada yang pro dan kontra pada RUU PKS.

"Selain pada penundaan pengesahan RUU PKS karena dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020 oleh DPR, masih terdapat kelompok masyarakat yang menganggap muatan materi RUU PKS tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku di masyarakat," ucap Bintang.

Namun, menurut Bintang, hal tersebut tidak dapat disalahkan karena menyangkut cara pandang seseorang. "Kita hanya perlu duduk bersama untuk mengemukakan pendapat dan mencari jalan tengah tentang perbedaan cara pandang ini, karena saya yakin pihak pro maupun kontra pasti punya tujuan yang sama menciptakan payung hukum komprehensif untuk menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan," tegas Bintang.

Berdasarkan data Sistem Informasi Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tanggal 1 Januari 2020 sampai 24 Juli 2020 menunjukkan kasus Kekerasan terhadap Perempuan Dewasa (KtP) sebanyak 3.020 kasus dengan 3.059 korban. Sedangkan korban Kekerasan Seksual sebanyak 432 orang. Berdasarkan data yang sama, kasus Kekerasan terhadap Anak (KtA) sebanyak 4.116 kasus dengan 4.615 korban, adapun korban Kekerasan Seksual bagi anak berjumlah 2.556 korban, yang berarti sekitar 55,38 persen korban KtA adalah korban kekerasan seksual. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement