REPUBLIKA.CO.ID, oleh Deddy Darmawan Nasution, Antara
Badan Pusat Statistik (BPS) pada hari ini, melaporkan laju inflasi hingga Juli 2020 cukup rendah bahkan mengalami minus atau deflasi. Inflasi tahunan (year on year/yoy) Juli 2020 terhadap Juli 2019 tercatat hanya 1,54 persen. Angka tersebut tercatat menjadi yang terendah dalam 20 tahun terakhir.
"Inflasi ini terendah sejak posisi Mei tahun 2000. Saat itu inflasi tahunan 1,2 persen, kata Kepala BPS, Suhariyanto dalam konferensi pers, Senin (3/8).
Menurut Suhartoyo, pandemi Covid-19 berdampak sangat besar terhadap besaran inflasi pada tahun ini. Pada Januari 2020, inflasi tahun kalender sebesar 0,39 persen atau masih dalam angka normal. Namun, tingkat inflasi turun perhalan mulai Februari 2020 akibat wabah virus corona yang terus meluas dan dinyatakan masuk ke Indonesia pada awal Maret 2020.
"Inflasi tahun-tahun sebelumnya yang mencapai puncak di bulan Ramadhan dan Lebaran pun tidak terjadi di tahun ini," kata dia.
Situasi permintaan terhadap barang makin melemah setelah pemerintah memberlakukan work frome home mulai April lalu. Hal itu secara langsung berdampak pada turunnya permintaan yang diikuti dengan merosotnya suplai barang.
"Pengaruh Covid-19 luar biasa sekali. Seluruh negara inflasi melambat bahkan cenderung deflasi. Itu sebabnya inflasi masih lemah sekali," katanya menambahkan.
Oleh karena itu, Suhariyanto mengatakan, tugas pemerintah ke depan salah satunya yakni dengan meningkatkan kembali daya beli masyarakat. Hal itu agar tingkat konsumen kembali naik dan ekonomi nasional setidaknya kembali bergairah.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad, pun menilai, rendahnya laju inflasi bahkan hingga deflasi dipicu akibat daya beli masyarakat Indonesia yang tengah jauh melemah. Sementara, program pemerintah untuk meningkatkan konsumsi masyarakat dinilai belum efektif.
"Daya beli masyarakat memang turun drastis dibanding tahun lalu. Saya kira ini yang penting menjadi catatan bagi pemerintah," kata Tauhid kepada Republika.co.id, Senin (3/8).
Tauhid mengatakan, dibanding dengan situasi tahun lalu, pada 2020 amat berbeda karena rendahnya konsumsi. Hal itu membuat harga-harga menjadi lebih rendah karena permintaannya yang lesu.
Lebih lanjut, ia mengatakan, permintaan barang dan jasa pada momen Ramadhan dan Lebaran tahun ini juga tak sama. "Permintaan saat hari raya tidak seramai tahun lalu. Kurban saja permintaannya sudah turun. Ini betul-betul efek dari Covid-19," kata Tauhid.
Tauhid pun menilai, kekhawatiran terhadap wabah virus corona masih sangat besar. Alhasil, meski pemerintah mulai melakukan relaksasi terhadap Pembatasan Sosial Berskala Besar sejak awal Juni lalu, hal itu tak bisa mendorong konsumsi. Terutama, kelas menengah yang menjadi pendorong utama konsumsi rumah tangga.
Ia mengatakan, jika laju inflasi semakin rendah dan bahkan terus mengarah pada deflasi, bakal mencerminkan bahwa ekonomi tidak bergulir dengan normal. Di satu sisi, peredaran barang dan jasa menjadi tidak normal dan tak mampu menciptakan daya dukung nilai tambah.
Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian, Iskandar Simorangkir, mengatakan, penurunan inflasi yang terjadi merupakan hal wajar. Sebab, harga sebagian bahan pangan pokok mengalami penurunan harga.
Pemerintah pada tahun ini menargetkan laju inflasi tahunan sebesar 3 plus minus 1 persen. Jika nantinya inflasi justru berada di bawah 3 persen, Iskandar mengatakan akan tetap positif bagi perekonomian.
"Malah makin bagus karena bisa menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.
Cegah resesi
Komite Penanganan COVID-19 akan memprioritaskan penciptaan rasa aman dan sehat di masyarakat guna mencegah terjadinya resesi pada kuartal III 2020. Pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 2,97 persen, sedangkan pada kuartal II diperkirakan negatif atau mengalami kontraksi.
“Bahwa yang kita lihat sekarang adalah kepercayaan itu belum muncul. Dari analisa dan data kami, tabungan di perbankan itu naik dan kredit turun,” kata ekonom senior yang menjadi Sekretaris Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Raden Pardede dalam Gerakan Pakai Masker webinar bertema "Ekonomi Indonesia diambang Resesi, Apa Solusinya?" di Jakarta, Senin.
Menurut dia, tren yang terjadi bagi mereka yang memiliki uang tabungannya naik dan pengeluarannya relatif turun. Yang biasanya membeli sepatu atau tas sebulan atau dua bulan sekali, sekarang berkurang sekali karena mereka menahan diri.
“Ini muncul karena belum yakin kondisi ekonomi ke depan akan membaik atau tidak,” ujar dia.
Berdasarkan survei kesehatan yang dilakukan, kata dia, justru yang tua lebih peduli terhadap kesehatan dibanding yang muda. Mereka dengan usia lebih tua yang lebih banyak memiliki, namun tingkat kepercayaan mereka akan rasa aman dan kesehatan masih kurang, sehingga belum mau berinvestasi atau mengeluarkan uang lagi.
Oleh karena itu, lanjut dia, memunculkan rasa aman dan memastikan kesehatan masyarakat menjadi prioritas utama Komite Penanganan Covid-19. Jika dua hal tadi dapat dicapai, menurut dia, kepercayaan pasar akan kembali.
“Itu yang ada di kepala kita sebelum kita bisa gerakkan ekonomi. Ini prioritas sekarang ini. Jadi targetnya dari sisi ekonomi tahun ini bagaimana mencegah resesi,” ujar dia.
Secara teknikal jika pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dan IV negatif, kata Raden, maka Indonesia mengalami resesi. Jika itu juga terjadi hingga 2021 maka mengalami depresi.
“Jadi jangan berpretensi pusat hanya perhatian ke ekonomi saja, tidak. Ini berupaya bagaimana memastikan kesehatan berjalan dan mata pencaharian kehidupan juga berjalan. Tidak bisa lockdown dalam jangka lama,” ujar dia.
Langkah maksimum yang, menurut dia, bisa dilakukan dalam situasi sekarang ini yakni melakukan tes, lacak, isolasi (TLI), sehingga akan menjadi fokus dalam beberapa bulan ke depan. Komite Penanganan Covid-19 akan meningkatkan tes polymerase chain reaction (PCR) dan melacak mereka yang terinfeksi SARS-CoV-2.
Upaya tersebut agar membuat angka positivity rate Covid-19 harus di bawah 5 persen sesuai yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), sekaligus mencegah terjadinya resesi di kuartal III dan IV 2020.
Oleh karena itu, menurut dia, belanja pemerintah sebesar Rp690 triliun lebih akan dilihat satu per satu dan untuk berbelanja dua hal. Pertama belanja sosial dan kedua program padat karya.
“Di samping tentunya belanja utama Rp87,5 triliun untuk kesehatan, mendapatkan rasa aman dan sehat,” ujar Raden Pardede.