Rabu 29 Jul 2020 15:19 WIB

Hakim: Independensi, Risiko, dan Kesejahteraan

Profesi hakim harus disandang oleh pribadi yang penuh keberanian.

Hakim (Ilustrasi)
Foto:

Komisi yudisial tidak sekedar lembaga pengawas perilaku hakim yang berdasarkan Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut:(1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional. Kesepuluh prinsip tersebut sudah sesuai dengan prinsip-prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang ditetapkan di berbagai Negara, antara lain The Bangalore Principles of Yudicial Conduct.

Berdasarkan Pasal 20 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:

1. Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:

a. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;

b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;

c. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;

d. Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,

e. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

 

Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

2. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;

Sesungguhnya KY di samping memiliki peranan sebagai penjaga martabat dan kehormatan hakim juga memiliki kewenangan secara normatif untuk meningkatkan kesejahtertaan dan kapasitas hakim. Sejak berdirinya Komisi Yudisial pada 13 Agustus 2004, Komisi Yudisial belum mengoptimalkan kewenangan untuk kesejahteraan dan kapasitas profesi hakim.

Pengertian kesejahteraan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda.

Dalam konteks geografi NKRI, sungguh level kesejahteraan dapat dikatakan tidak merata dalam hal sarana dan prasarana, fasilitas konektifitas jaringan internet,ketersediaan fasilitas pendidikan untuk keluarga hakim, fasilitas pelayanan kesehatan dan keamanan hakim. Pengertian kesejahteraan tentunya tidak sekedar dimaknai secara materi atau insentif dalam bentuk remunerasi, tetapi kesejahteraan secara intelektual, kesejahteraan lahiriyah dan batiniah dan kesejahteraan sosialnya keluarga hakim, yang mendukung profesionalisme hakim.

Dengan peningkatan kesejahteraan dan kapasitas hakim, dan disertai penegakkan terhadap kode etik pedoman dan prilaku hakim, tentu akan semakin terwujud profesi hakim yang bermartabat dan berintegritas dan bertanggung jawab untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Sementara itu, menurut data dari United Nation Development Programme (UNDP (2013), Penduduk Indonesia hanya sebesar 17 persen dari jumlah penduduk yang memiliki akses terhadap administrasi pelayanan peradilan bahkan di Wilayah Indonesia Timur jauh lebih rendah yakni hanya 10 persen saja. Ironisnya anggaran untuk bantuan hukum bagi masyarakat miskin tidak terserap hampir mencapai Rp 34,5 milyar. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi.

Komisi Yudisial, MA dan Pemangku kepentingan dapat mengoptimalkan anggaran yang dipastikan dapat membantu kelancaran access to justice sejalan dengan program SAJI (strengthening Access to Justice in Indonesia) kerja sama UNDP, BAPPENAS juga disponsori oleh pemerintah Norwegia. Dengan adanya anggaran dan bantuan tersebut setidaknya berkontribusi terhadap kelancaran pelayanan terhadap peradilan dan tentunya membantu meringankan tugas para hakim dan tercipta distribution of welfare.

Independensi hakim dan kesejahteraan hakim dapat terwujud apabila institusi Mahkamah Agung yang membawahi 7.000 hakim, dan masih kekurangan sebesar 4000 hakim dibutuhkan anggaran yang memadai atau setidaknya mencukupi. Demikian juga Komisi Yudisial sudah saatnya mengubah paradigma yang terlalu berfokus pada supervisi untuk memprioritaskan upaya meningkatkan kesejahteraan dan kapasitas hakim.

Program ini tentunya dapat berjalan dengan baik secara sinergis dengan Mahkamah Agung dan pemangku kepentingan strategi lainnya seperti Fakultas Hukum di seluruh Indonesia, pemberdayaan civil society para pemerhati peradilan, aparat penegak hukum, media masa dan jaringan lembaga internasional yang memiliki komitment dan concern terhadap peningkatan integritas dan kesejahteraan hakim baik dari dalam maupun luar negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement