Kamis 30 Jul 2020 03:57 WIB

Belajar Investasi (Bodong) dari Jouska

Jangan sampai kasus Jouska menimbulkan ketakutan berinvestasi.

Jurnalis Republika Indira Rezkisari
Foto: Republika
Jurnalis Republika Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari

Zaman Twitter booming di Tanah Air, warganet mengenal sosok-sosok perencana keuangan seperti Ligwina Hananto dan Aidil Akbar. Mereka populer berkat cicitannya seputar mengatur keuangan pribadi. Apa itu dana darurat, dana pendidikan, dana pensiun, dan dana-dana lainnya dalam perencanaan keuangan pribadi dipaparkan banyak oleh para perencana keuangan di Twitter.

Baca Juga

Dari mereka pula, publik mengenal lebih baik tentang berinvestasi. Entah itu bentuknya reksadana, saham, logam mulia, properti atau tabungan konvensional.

Saya adalah salah satu kelompok yang belajar banyak dari Twitter para perencana keuangan tersebut. Dari Aidil Akbar saya belajar bagaimana membuat skema perencanaan dana pendidikan. Dari Ligwina Hananto saya belajar tentang pentingnya memiliki dana darurat, metode apa yang paling baik untuk mencapainya dan berapa banyak saya harus memilikinya.

Kelas yang diajarkan oleh Aidil Akbar saya ikuti. Biayanya tidak murah tapi separuhnya ditanggung kantor sebagai bagian dari self improvement karyawan. Buku-buku yang diterbitkan Ligwina juga saya beli.

Bertahun-tahun kemudian, warganet yang usianya dulu sama dengan saya ketika belajar perencanaan keuangan dari Twitter mengenal akun perencana keuangan bernama Jouska. Kontennya yang menarik dan relevan dengan milenial menjadikan Jouska akun yang populer.

Sebelum Satgas Waspada Investasi meminta penutupan akun media sosial Jouska pada 24 Juni 2020, pengikutnya akun Jouska di Instagram mencapai 785 ribu. Saat saya cek di hari Rabu (29/7) pukul 10.00 WIB, pengikut akun Instagram Jouska tersisa 744 ribu.

Seperti Ligwina dan Aidil, akun Jouska membuka mata milenial tentang pentingnya dana darurat dan beragam aspek perencanaan keuangan lainnya. Jouska juga mengajarkan ke publik bahwa hidup itu butuh uang yang cukup, kenapa? Karena hidup itu berat ongkosnya.

Melahirkan, menjadi sandwich generation, menyekolahkan anak, nongkrong di kafe, semua butuh uang. Dan hanya melalui perencanaan keuangan, semua bisa digapai dengan lebih mudah.

Bila Anda belum paham soal ada apa dengan Jouska, boleh saya terangkan sedikit. Pekan lalu CEO dan pendiri Jouska, Aakar Abyasa Fidzuno, dipanggil Satgas Waspada Investasi terkait keluhan sejumlah kliennya. Para klien tersebut mengadu kehilangan uangnya dalam jumlah signifikan setelah diserahkan pengelolaannya kepada Jouska.

Singkat cerita, Satgas Waspada Investasi menemukan sejumlah kejanggalan dan dugaan pelanggaran dari pengelolaan dana klien oleh Jouska. Jouska diduga terlibat aksi saham gorengan Luck yang merugikan kliennya. Klien Jouska diduga menjadi korban investasi bodong. Saya sebut bodong karena meski saham Luck betulan ada, tapi pengelolaan dananya menyebabkan klien Jouska mengalami kerugian finansial yang tidak sedikit.

Literasi keuangan masyarakat Indonesia memang tergolong rendah. Data OJK mencatat, pada 2019 literasi keuangan kita tercatat di 38 persen artinya hanya ada 38 dari 100 orang Indonesia yang melek soal keuangan dan seluk beluknya.

Rendahnya angka literasi keuangan diikuti dengan jumlah investor pasar modal yang juga masih rendah. Data PT Bursa Efek Indonesia (BEI) sebenarnya melihat kenaikan jumlah investor pasar modal Indonesia di akhir tahun 2019 sebanyak 2,48 juta. Jumlah tersebut mengalami pertumbuhan dibanding 2018 yang mencatatkan jumlah investor pasar modal sebanyak 1,6 juta.

Dalam data yang lebih baru, yakni Mei 2020, jumlah investor pasar modal Indonesia mencapai 2,81 juta, dan investor saham mencapai angka 1,19 juta. Tolong diingat angka ini tergolong rendah karena jumlah rakyat Indonesia melebihi 200 juta jiwa.

Artinya, jumlah investor pasar modal di Indonesia masih rendah. Bahkan belum sampai 1 persen. Jumlah tersebut jauh di bawah negara-negara tetangga.

Berdasarkan data tahun 2017, penduduk Malaysia yang ikut investasi saham sudah mencapai 3,8 juta atau 12,8 persen. Sementara di Singapura 1,5 juta atau 30 persen penduduknya sudah menabung saham. Lalu di China sudah 100,4 juta atau 13, persen penduduk yang investasi di pasar modal.

Membangun pertumbuhan investor pasar modal memang bukan perkara gampang. Untungnya bagi pemerintah, sebenarnya ada sosok-sosok seperti Ligwina, Aidil, Safir Senduk, Prita Ghozie, dan Aakar dengan Jouska yang membantu pemerintah menambah pemahaman publik tentang berinvestasi.

Di tengah pandemi Covid-19, BEI masih menargetkan adanya pertumbuhan investor di akhir 2020. Target tersebut mungkin sedikit lebih rendah dari tahun lalu, yaitu tumbuh 25 persen.

Tapi ketika muncul perencana keuangan yang ternyata melakukan tindakan yang kuat dugaan melanggar undang-undang, bahkan ditengarai tidak mengantongi izin yang sesuai, lalu di mana kepercayaan publik terhadap dunia perencaan keuangan dan pasar modal di Indonesia. Saham gorengan bukan sesuatu yang masyarakat awam mudah cermati.

Ketika pemerintah menargetkan adanya kenaikan investor, lalu publik bisa bertanya, apa yang akan dilakukan pemerintah untuk lebih melindungi masyarakat yang ingin berinvestasi? Perlindungan atau pengawasan ekstra diperlukan karena faktor rendah literasi keuangan publik. Artinya masyarakat yang sudah terjun sebagai investor sekali pun tidak memiliki jaminan sudah menguasai dengan baik seputar perencanaan keuangan dan investasi.

Potensi penduduk Indonesia untuk berinvestasi sebenarnya cukup besar. Saat ini sekitar 170 juta orang Indonesia masuk dalam kategori usia produktif.

Berinvestasi di pasar modal dalam negeri juga diperlukan oleh negara sebagai bentuk dukungan terhadap perekonomian. Investor dalam negeri tidak sama dengan investor asing yang bisa dengan mudahnya keluar masuk dan mengguncang dengan hot money miliknya.

Saya pun langsung mengacungi jempol ketika mengetahui BEI bersama OJK sedang merancang papan perdagangan saham yang diberi nama  Watchlist Board atau Papan Pemantauan Khusus. Papan ini dibuat untuk melindungi investor agar tidak terjebak dalam transaksi saham-saham gorengan.

Pada Selasa (28/7), Direktur Pengembangan BEI, Hasan Fawzi, mengatakan papan baru ini diharapkan dapat mencegah investor dari kemungkinan adanya perdagangan semu dan penciptaan harga yang tidak wajar. Menurut Hasan, pola transaksi ini bisa saja terjadi di semua saham, baik di saham penghuni papan utama maupun papan pengembangan.

Oleh sebab itu, diperlukan satu papan khusus untuk memantau pergerakan saham-saham yang berpotensi melakukan transaksi manipulatif. Hasan menjelaskan, pihaknya akan menyeleksi saham yang ada di papan lain dan memasukkannya ke dalam papan pemantauan khusus sesuai kriteria yang tergolong dalam papan tersebut.

Dengan adanya papan pemantauan ini, Hasan berharap mengetahui secara pasti segala risiko dan konsekuensi atas transaksi yang mereka lakukan. Di sisi lain, mekanisme perdagangan, pengenalan market maker dan liquidity provider di papan ini berguna untuk membangunkan saham-saham yang tidak likuid atau terjebak di angka batas bawah.

"Dengan demikian emiten memiliki awareness tinggi saat sahamnya masuk di papan pemantauan khusus sehingga kewajarannya bisa meningkat dengan semestinya," tutup Hasan.

Mungkin kebijakan tersebut berangkat dari kasus klien Jouska yang terjebak saham Luck. Ya, klien juga tidak bisa disalahkan karena telah menyerahkan pengelolaannya ke perencana keuangan.

Semoga dunia pasar modal Indonesia terus memperbaiki diri. Semoga masyarakat Indonesia juga terus belajar agar terhindar dari ragam kasus investasi bodong.

*penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement