Rabu 29 Jul 2020 05:31 WIB

Kritik Bagi Lambatnya Penyerapan Anggaran Program PEN

Program PEN harus segera direalisasikan hindari pertumbuhan ekonomi tumbuh minus.

Seorang penjual kerak telur menunggu pembeli di kawasan Pasar Baru, Jakarta. Daya beli masyarakat menurun karena sulitnya ekonomi. Pemerintah dikritik lamban merealisasikan penyerapan anggaran terutama bagi program Pemulihan Ekonomi (PEN). Penyerapan anggaran diharap bisa menjaga faktor demand and supply hingga roda perekonomian terus berputar.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Seorang penjual kerak telur menunggu pembeli di kawasan Pasar Baru, Jakarta. Daya beli masyarakat menurun karena sulitnya ekonomi. Pemerintah dikritik lamban merealisasikan penyerapan anggaran terutama bagi program Pemulihan Ekonomi (PEN). Penyerapan anggaran diharap bisa menjaga faktor demand and supply hingga roda perekonomian terus berputar.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Rizky Suryarandika, Iit Septyaningsih, Adinda Pryanka

Indonesia seperti banyak negara lain di dunia terjebak dalam bibir jurang resesi ekonomi. Salah satu cara untuk menyelamatkan perekonomian negara adalah lewat belanja pemerintah.

Baca Juga

Faktanya sekarang realisasi anggaran untuk penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) baru mencapai 19 persen atau Rp 136 triliun dari total yang sudah dianggarkan di Rancangan APBN-P 2020 sebesar Rp 695 triliun. Presiden Joko Widodo bahkan menegaskaan kalau penyerapan stimulus penanganan Covid-19 ini masih belum optimal. Kecepatannya, kata Presiden, masih kurang.

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyoroti serapan dana penanganan Covid-19 yang masih rendah. Ia mengatakan pemerintah perlu segera memperbaiki kinerja dan memaksimalkan anggaran yang telah dianggarkan untuk digunakan pada Masa Covid-19 ini.

"Ini menjadi catatan buruk bagi Pemerintah," ujar Anis dal keterangannya. Karena itu Anis meminta agar Pemerintah memperbaiki kinerjanya agar penanganan dampak Covid-19 khususnya di bidang ekonomi sehingga bisa berjalan lebih baik.

Anis mengatakan, pemerintah sudah tiga kali mengubah proyeksi kebutuhan biaya penanganan Covid-19 dalam dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan sejak adanya peraturan presiden nomor 54 tahun 2020 tentang perubahan postur dan rincian anggaran pendapatan dan belanja negara APBN tahun 2020. Semula anggaran itu sebesar Rp 405,1 triliun yakni untuk kesehatan dengan alokasi Rp 75 triliun, kemudian program pemulihan ekonomi nasional Rp 330,1 triliun.

Kemudian anggaran naik menjadi Rp 641,17 triliun, sedangkan untuk kesehatan tetap dianggarkan Rp 75 triliun. Kemudian terjadi perubahan berikutnya menjadi Rp 677,20 triliun. Rinciannya Rp 559,65 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional dan Rp 87,5 triliun untuk kesehatan.

"Jadi ada kenaikan dari Rp 75 triliun ke Rp 87,5 triliun untuk kesehatan di kenaikan berikutnya," kata Anis. Angka ini, kata Anis juga menunjukkan bagaimana alokasi anggaran penanganan Covid itu lebih besar untuk pemulihan ekonomi nasional.

"Dana yang untuk kesehatan ini bukan hanya tentang kesehatan ternyata, tapi ada jaring pengaman sosial, ada stimulus UMKM ada juga untuk menyuntik BUMN dengan menggelontorkan dananya sebanyak Rp 142,25 triliun," ujarnya.

Di samping meminta peningkatan kinerja, Anis juga mengingatkan soal konsekuensi meningkatnya defisit. Anis menyebut, kebutuhan utang untuk biaya defisit meningkat Rp 213,9 triliun menjadi Rp 220,3 triliun.  "Jadi terakhir Menteri Keuangan memproyeksi dan penanganan Covid dapat melonjak hingga Rp 905,1 triliun penambahan, membuat utang naik," ujar Politikus PKS tersebut.

Masalah penyerapan anggaran yang tidak optimal sudah pernah disinggung oleh Presiden Jokowi. Bahkan ia mengancam menteri yang tidak bekerja optimal termasuk dalam urusan penyerapan anggaran akan diganti.

Direktur Eksekutif Center of Reform Economics (CORE) Mohamad Faisal mengatakan Covid-19 mengakibatkan adanya realokasi dan refokusing anggaran dari APBN 2020 yang sudah disahkan tahun lalu. Selain realokasi, Faisal memantau anggaran penanganan Covid terus diperbesar yang digunakan untuk sektor kesehatan maupun penanggulangan dampak ekonomi. Sehingga  ia memprediksi lambatnya serapan APBN bisa saja terus terjadi sampai kuartal ketiga tahun ini.

"Jadi ada perubahan-perubahan yang bisa mempengaruhi tingkat serapan anggaran lambat khususnya di awal-awal, yaitu Q2 dan bahkan sampai Q3," ujar Faisal.

Di sisi lain, Faisal menilai serapan APBN bermasalah karena lambatnya implementasi dan eksekusi program pemerintah, khususnya Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Padahal program PEN justru mendapat perbesaran porsi anggaran. "Banyak program PEN yang lintas sektoral dan butuh koordinasi dengan banyak Kementerian dan Lembaga, lagi-lagi kesulitan koordinasi yang membuat eksekusi menjadi lamban," ucap Faisal.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, program PEN harus segera direalisasikan demi menahan penurunan pertumbuhan ekonomi semakin dalam. Sebab, lambatnya penyerapan anggaran PEN, dapat berpengaruh terhadap upaya pemerintah mendorong perekonomian yang sedang tertekan.

"Diprediksi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal dua minus empat sampai minus enam. Kalau kebijakan implementasi masih lambat, sangat mungkin kuartal tiga juga minus, sehingga akan menjadi beban berat secara keseluruhan," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani dalam webinar yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pada Selasa (28/7).

Maka menurutnya, penting menjaga sisi demand dan sisi supply. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi bisa terus berlangsung di sektor riil.

"Dunia usaha akan terus membantu pemerintah memastikan penyaluran stimulus tersebut berjalan efektif. Khususnya stimulus untuk sektor usaha atau supply side," kata dia.

Ia menyebutkan, saat ini terdapat 9 sektor ekonomi yang telah dibuka pemerintah pada tahap awal. Meliputi pertanian dan peternakan, perkebunan, perikanan, industri manufaktur, konstruksi, transportasi barang, pertambangan, serta perminyakan.

"Sektor perikanan relatif tidak punya kendala besar karena Covid-19. Justru kebutuhan domestiknya meningkat, sedangkan kebutuhan ekspor malah mengalami kendala karena serapan lokal meningkat," jelasnya.

Rosan pun mengatakan, Indonesia salah satu negara paling optimis di dunia, meski penyebaran Covid-19 di dalam negeri masih tinggi. Pernyataan itu berdasarkan survei perusahaan konsultan dan manajemen global McKinsey and Company.

Tingkat optimisme Indonesia menduduki peringkat ketiga, di bawah China serta India. "Ini salah satu hal positif dan menjadi modal kita untuk berkreasi sekaligus berpikiran positif, yakin Indonesia bisa segera keluar dari Covid-19," ujar dia.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) juga memperkirakan Indonesia akan masuk laju resesi cukup dalam. Pada kuartal II 2020, diprediksi pertumbuhan ekonomi nasional mencapai minus 4 persen.

"Kemudian pada kuartal tiga, diperkirakan pertumbuhan ekonomi minus 1,3 persen. Bahkan bisa lebih parah, dengan asumsi realisasi program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) masih di bawah 30 persen," ujar Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam webinar pada Selasa (28/7).

Penyerapan anggaran PEN yang baru 19 persen pada 22 Juli 2020, dinilai masih jauh dari harapan. "Penyerapan itu masih jauh dari harapan. Ini berat pada kuartal tiga dan kuartal empat," kata Tauhid.

Realisasi anggaran PEN, kata dia, harus segera. Sebab perekonomian nasional sangat bergantung pada program tersebut.

Terkait program PEN, menurutnya, pendorongan permintaan atau demand melalui jaring pengaman sosial masih rendah. Padahal perlindungan sosial atau membentuk demand penting dilakukan demi mencegah resesi.

"Kalau demand tidak terbentuk dari bansos (bantuan sosial) yang lain juga tidak gerak. Ini akan jadi problem," tegasnya.

Bila dilihat, lanjut dia, Indonesia memiliki siklus pertumbuhan ekonomi pada setiap kuartal. "Jadi sebenarnya pemulihan ekonomi terjadi pada kuartal II yang akan berakhir pada Juli, kuartal I dan kuartal II itu Puncak pertumbuhan ekonomi kota. Jika pertumbuhan pada dua kuartal itu minus, maka kuartal ketiga dan keempat pun akan turun, maka seharusnya program PEN bisa jor-joran dan besar-besar," tutur Tauhid.

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengubah desain beberapa stimulus dalam program PEN yang tidak berjalan dengan baik. Di antaranya insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) dan beberapa program bantuan sosial.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan sedang menyisir program-program PEN yang masih belum menggunakan pagu anggarannya atau belum berjalan. "Kalau itu sudah diketahui, akan segera kita ubah programnya ke yang kita yakin akan berjalan," tuturnya.

Pergantian program diharapkan Febrio dapat lebih memastikan efektivitas penyaluran stimulus. Kata kunci dalam melakukan redesain adalah uang yang disiapkan harus mengalir ke masyarakat atau dunia usaha terdampak Covid-19.

Salah satu target redesain pemerintah adalah program perlindungan sosial yang mendapatkan anggaran hingga Rp 203,91 triliun. Tapi, Febrio tidak menyebutkan secara rinci, jenis bantuan sosial seperti apa yang akan mengalami perubahan skema.

Sampai dengan Rabu (22/7), belanja perlindungan sosial untuk penanganan Covid-19 baru berada pada level 38,31 persen. Meski realisasi masih di bawah 50 persen, Febrio menilai, program ini menjadi yang paling jalan dan efektif dibandingkan kelompok lain.

Febrio optimistis, tingkat penyerapannya sampai akhir tahun akan mendekati 100 persen mengingat pembayaran bantuan sosial dilakukan secara bulanan. "Dekati akhir tahun akan stand well," katanya.

Kelompok belanja lain yang akan diubah desainnya adalah insentif usaha atau insentif perpajakan. Pemerintah telah menetapkan pagu anggaran Rp 120,61 triliun untuk memberikan insentif ini ke dunia usaha, namun baru terserap 13,34 persen.

Febrio menyebutkan, redesain terutama dilakukan pada insentif PPh Pasal 21 DTP yang ditujukan bagi masyarakat menengah atau kelas pekerja dengan pendapatan di bawah Rp 200 juta per tahun. "Dari bahasanya saja, sudah susah dimengerti masyarakat," ujarnya.

Febrio mengatakan, ada masalah teknis dalam pemberian insentif ini yang harus segera diperbaiki. Dengan melakukan desain ulang, ia berharap, insentif ini dapat lebih cepat sampai ke kantong masyarakat dan berdampak signifikan terhadap perekonomian.

photo
Rekor Kasus Covid-19 di Indonesia - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement