Senin 27 Jul 2020 00:45 WIB

Food Estate, Pakar: Optimalkan Peran Petani

Kunci keberhasilan proyek lumbung pangan ada pada masyarakat itu sendiri.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Agus Yulianto
Presiden Joko Widodo ketika mengunjungi Kapuas, Kalimantan Tengah yang direncanakan menjadi lumbung pangan nasional atau Food Estate.
Foto: Kementan
Presiden Joko Widodo ketika mengunjungi Kapuas, Kalimantan Tengah yang direncanakan menjadi lumbung pangan nasional atau Food Estate.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah bersama Badan Usaha Milik Negara tengah menggencarkan proyek food estate atau lumbung pangan modern di sejumlah wilayah. Proyek tersebut salah satu ditujukan untuk meningkatkan ketahanan pangan menyikapi pandemi virus corona yang belum diketahui kapan berakhir.

Food estate pertama yang mulai digarap yakni di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah seluas 30 ribu hektare (ha) tahap awal. Selanjutnya, yakni food estate hortikultura di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara seluas 4.000 ha. Terakhir, yakni pilot project food estate beras di Kabupaten Subang, Jawa Barat dengan luasan sekitar 1.000 ha.

Pakar Ekonomi Pertanian, IPB University, Hermanto Siregar, menuturkan, selama food estate mengikutsertakan masyarakat setempat secara penuh, proyek itu perlu didukung. Sebab, kunci keberhasilan proyek lumbung pangan ada pada masyarakat itu sendiri.

"Yang penting rakjat, jadi jangan buat disitu ada korporasinya tapi rakyat hanya menonton. Tidak ada sejarahnya BUMN, swasta, mengelola tanaman pangan," kata Hermanto saat diwawancarai Republika.co.id, Ahad (26/7).

Dia menuturkan, pertanian pada dasarnya adalah budaya. Karena itu, petani yang paling mengetahui dalam mengembangkan tanaman pangan. Hermanto mencontohkan, konsep pertanian di Vietnam dan Thailand yang menjadi produsen beras dunia. Di mana, seluruh penanaman komoditas dilakukan langsung oleh masyarakat.

Di satu sisi, pemerintah sekarang juga harus memahami pengalaman pemerintahan sebelumnya yang gagal dalam menjalankan proyek food estate. Secara khusus, Hermanto menyoroti, penggunaan lahan rawa yang bakal digarap. Menurutnya, perlu biaya yang besar dan berisiko tinggi untuk melakukan budidaya tanaman di lahan rawa.

"Harus prinsip kehati-hatian. Coba dulu dalam skala terbatas, bagaimana dampak lingkungannya. Jangan langsung dibuat luas. Nanti gagal, rakyat juga yang menanggung," ujarnya.

Menurutnya, upaya jangka pendek yang harus diutamakan dalam menjaga ketahanan pangan disaat pandemi dengan mengoptimalkan seluruh area lahan yang dimiliki petani. Meskipun hanya skala kecil sekitar 0,2-0,3 hektare, penanaman sebisa mungkin dilakukan sehingga tidak ada lahan yang menganggur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement