Ahad 26 Jul 2020 14:02 WIB

Sultan HB IX Menolak Jadi Sandera Politik Jepang

Menolak Jadi Sandera Politik Jeoang

ultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942. Sumber: Repro Buku Takhta Untuk Rakyat.
Foto: Sultan HB IX
ultan Hamengku Buwono IX bersama para pembesar militer Jepang di Jakarta, 1942. Sumber: Repro Buku Takhta Untuk Rakyat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Akhmad  Khoirul  Fahmi, Mahisa Pasca Sarjana Unsud dan Pemerhati  Sejarah Islam Pasca  Diponegoro

Sultan HB IX memulai  pemerintahanya dalam suasana  tidak  pasti. Negeri  Belanda  telah diduduki NAZI, serta  wilayah  Hindia Belanda  terancam  diduduki  Jepang.  Dua   bulan setelah  penobatan, ia   dipanggil  Gubernur Jenderal di Jakarta, bersama  Gubernur  Yogyakarta Dr Adam   dan  anggota  Raad  van Indie  Ch. O. van der Plas.

Dalam pertemuan itu  diambil  keputusan: (1) Kota Bandung akan dijadikan  benteng terakhir  dan dipertahankan selama  mungkin,  (2)  Apabila  Jepang  datang menyerang, empat keluarga kerajaan  di Jawa, terutama  Sultan HB IX  dan Susuhunan  Surakarta, hendaknya  ikut  dengan  Belanda  menyingkir  ke  Australia.

Ajakan ini  ditolak mentah-mentah oleh  Sultan HB  IX waktu  itu, “Apa pun yang  akan  terjadi, saya  tak akan  meninggalkan  Yogja. Justru  bila  bahaya  memuncak, saya wajib  berada  di  tempat  demi keselamatan  Keraton  dan  rakyat”. 

Peristiwa  susul  menyusul  kemudian. Pendudukan  Tentara Jepang berjalan begitu  cepat. Pada  1 Maret  1942, satuan tentara Jepang  mendarat di berbagai tempat di  Pulau  Jawa. Pada  5  Maret  1942  kota  Yogyakarta  diduduki, dan  tanggal  8  Maret 1942, Bandung  yang  diharapkan  menjadi  benteng  pertahanan terkuat  menyerah  tanpa  syarat   kepada  balatentara Dai  Nippon.

Ada  rencana  Belanda  untuk  menculik  Sultan HB IX  dan  kemudian  akan dibawa ke  Australia  bersama   raja-raja dari keraton  lain di  Jawa.   Rencana   penculikan itu  diketahui  kemudian, yaitu   melalui  instruksi  kepada suatu  kecamatan  di  daerah Yogya.  Seorang camat—dijabat  Selo Sumarjan--  mendapat instruksi  agar  menebang semua  pohon  kelapa  antara  Yogya dan Wates, di area sepanjang  tiga  kilometer. 

Di tempat  itu akan didaratkan   pesawat terbang  berikut sejumlah  kesatuan  tentara. Penculikan ini  gagal, keburu  Jepang  masuk  Jogja.   Jika  Belanda mampu membawa  raja  raja  di Jawa  ke  Australia, tentu akan  menjadi  semacam   “sandera”, dalam siasat politik  mereka  untuk  mempertahankan  Hindia Belanda.

Mengendalikan Pemerintahan  dan Pembangunan Selokan Mataram

Ketika   Hindia  Belanda telah  menyerah  kepada Jepang,  langkah  menyelamatkan  kekuasaan  Kesultanan  Jogjakarta  adalah pertama  Ia  mengatakan  kepada tentara  pendudukan Jepang agar segala  hal   menyangkut daerah  Kesultanan Yogya  dibicarakan  dulu  dengan Sultan.   Ia  dengan sendirinya   secara langsung  mempimpin  rakyat  kerajaaannya.

Langkah  kedua yang dianggap  penting   adalah  menyingkirkan  kekuasaan sehari-hari   yang masih di tangan Pepatih  Dalem. Sebelumnya, pejabat  ini, merupakan  pegawai kesultanan  sekaligus  pegawai  pemerintah  Hindia  Belanda. Kepada Pepatih  Dalem  sendiri  dikeluarkan  perintah  agar  untuk  selanjutnya  hanya bertindak  atas  perintah  Sultan.

Atas  hal  tersebut,  Jepang  memutuskan  mengukuhkan kedudukannya  kembali  sebagai Sultan  Yogya.  Sultan  HB IX  dilantik  untuk kedua  kali  sebagai  Sultan  oleh  Panglima Besar Tentara Pendudukan  Jepag  yang dilakukan di  Jakarta.   Sultan  HB  IX  menerima  wewenang  untuk  mengurus  pemerintahan Kesultanan  yang   dinamakan  Kochi (Daerah  Istimewa).

Biasanya   Kochi  diberikan  kepada  kepala  Pemerintahan  yang disebut  Gunseikan (Kepala Pemerintahan  militer  yang dijabat staf tentara).  Perintah    dan   petunjuk   tentara  pendudukan  Jepang  ini  memberikan peluang  bagi  HB IX  untuk  lebih aktif  memerintah  secara langsung  di  daerahnya. 

Peluang  ini  memberikan  kesempatan  yang  baik  baginya  untuk memecah  wewenang  yang semula   di tangan  Pepatih  Dalem  menjadi  enam  jawatan  pada tahun 1944, kemudian  dilebarkan  lagi  menjadi  tujuh  jawatan pada tahun  1945.

Sebagaimana diketahui, masa pendudukan  Jepang, sekalipun singkat  digambarkan  penuh  dengan penderitaan rakyat. Serdadu Jepang  sering bertindak  kasar  main tempeleng  kepada penduduk. Rakyat di daerah  yang dikuasai  Jepang  dituntut  untuk  menyediakan beras, ternak,  bahan pakaian  bahkan   intan berlian  hingga  tenaga  manusia untukmemenuhi kebutuhan  perang  mereka.  Puluhan ribu tenaga  manusia  dikerahkan  sebagai romusa.

Apabila  di berbagai  daerah mengalami   penderitaan  demikian,  di  Yogyakarta  dapat  dikatakan  lebih  mujur. Sultan HB IX  menolak permintaan  Jepang  sama sekali itu  tidak  mungkin, tetapi  Sultan  HB IX kemudian  bersiasat  dengan tentara Jepang.  Siasat yang dipakainya  adaah   “menyembunyikan”  angka-angka  statistik  yang sebenarnya  di daerah  Yogya,  baik  menyangkut  jumlah  penduduk,  hasil  panen  dan jumlah ternak.

Dengan  cara  itu, ia berhasil  menekan  jumlah   padi, ternak dan  makanan lain   yang  diminta oleh Jepang. Bahkan ia mampu  meyakinkan   kepala Pemerintahan Jepang,bahwa daerahnya  itu  minus  dan  tidak mampu  menghasilkan  bahan pangan yang mencukupi   kebutuhan  penduduk.

Pertimbangannya  adalah: (1) Wilayah  Yogyakarta terlalu sempit,  (2) Di  wilayah  sempit  itu tanah yang  dapat ditanami  hanya  sedikit, karena  sebahagian selalu tergenang  air pada musim  hujan, sedangkan  didaerah-daerah  lain  yang   terlalu  kering  dan tak subur sama  sekali untuk  pertanian. 

Dengan  alasan agar mampu  membantu  menyumbangkan  hasil bumi  untuk bala tentara Jepang, Sultan HB IX berdiplomasi  agar  diberi  bantuan  dana  untuk  membangun sarana  irigasi, yang dikenal  kemudian  sebagai  Selokan Mataram.

Program  dana  dari  Jepang itu berupa:  (1)  Membangun  saluran dan  pintu air  untuk  mengatur  air hujan  dari daerah tergenang  ke  laut, terutama  di  daerah Adikarto  sebelah selatan; (2) Membangun saluran-saluran  untuk  mengalirkan  air  dari  Kali  Progo  ke daerah  kering   yang kekurangan  air di daerah   Sleman  ke  arah Timur.

Kedua proyek  saluran ini  pada waktu  itu  mampu membantu  wilayah  Yogya  menekan  kekurangan pangan,  sekalipun  sebagian hasilnya  harus  disetorkan   kepada Jepang.  Pembangunan  saluran  air sepanjang  puluhan kilometer ini memberi  manfaat lain,   terhindarnya  ratusan  sampai  ribuan  warga Yogya  dari panggilan  romusha.

Sebab, pembangunan  saluran ini  tentu  harus  dilengkapi pembangunan  bendungan,  tanggul, jembatan  dan  lain-lain yang memerlukan  tenaga  manusia. Hal inilah  yang  dijadikan alasan  Sultan HB IX menolak  perintah  pengiriman penduduk  untuk  dijadikan  romusa.

Wallahu ‘alam  Bishowab

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement