Sabtu 25 Jul 2020 09:57 WIB

LBHM Minta Batalkan Eksekusi Mati di Tengah Pandemi

Situasi pandemi beberapa bulan ini menunjukkan urgensi reformasi peradilan.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Ilustrasi Hukuman Mati
Foto: MGIT4
Ilustrasi Hukuman Mati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) memprotes keras upaya Kejaksaan Negeri Merangin di Jambi yang akan mengupayakan eksekusi mati terhadap Syofian, Harun dan Sargawi sebagai terpidana mati kasus pembunuhan. Hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Muhammad Afif.

"Di tengah carut-marutnya penanganan wabah Covid-19, Kejaksaan Negeri Merangin bersama Kejaksaan Agung masih memikirkan eksekusi mati terhadap terpidana mati," keluh Afif dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Sabtu (25/7).

Baca Juga

Padahal, lanjut Afif, di situasi pandemik Covid-19 ini, yang utama adalah mengatasi virus. Bahkan berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh website covid19.go.id, per tanggal 23 Juli 2020, jumlah orang yang dilaporkan meninggal akibat Covid-19 di Indonesia tercatat sebanyak 4.576 orang. Di saat yang bersamaan, tenaga kesehatan yang bertempur di garis depan berguguran. 

Oleh karena itu, menurut Afif, data dan informasi soal banyaknya nyawa melayang akibat virus ini harusnya memacu Kejaksaan Negeri Merangin bersama Kejaksaan Agung untuk mencegah tidak ada lagi nyawa terbuang sia-sia. Eksekusi mati yang dicanangkan Kejaksaan Negeri Merangin bersama Kejaksaan Agung bertolak-belakang dengan hal ini. 

"Keputusan melakukan eksekusi mati di tengah pandemi Covid-19 ini bukan saja bertabrakan dengan prinsip perlindungan tapi juga mengalihkan prioritas aparat penegak hukum," tegas Afif.

Afif menilai, situasi pandemi yang telah berlangsung beberapa bulan ini menunjukkan urgensi reformasi peradilan. Selama pandemi, banyak terdakwa dan terpidana kesulitan untuk mendapatkan pendampingan hukum. Minimnya fasilitas telekomunikasi membuat banyak persidangan dilakukan seadanya. Masih banyak juga  penjara yang mengalami overkapasitas dan terus menerima tahanan baru. 

Sehingga, kata Afif, kondisi-kondisi semacam ini seharusnya mendorong Kejaksaan Agung bersama Presiden untuk serius memperbaiki pemenuhan akses terhadap keadilan. Bukannya malah mengambil langkah problematis untuk mengeksekusi mati orang. 

Di sisi lain, LBHM mencatat mayoritas terpidana mati belum terpenuhi haknya atas peradilan yang adil sehingga menyebabkan banyak eksekusi mati sebenarnya melanggar prinsip-prinsip HAM yang ada. Afif mengatakan, begitu bermasalahnya hukuman mati ini sehingga membuat 106 negara-negara di dunia tidak lagi menerapkan hukuman mati secara total. Kemudian 8 negara menghapus untuk kategori tindak pidana umum, 28 negara menghapus praktik eksekusi mati lebih dari 10 tahun. Angka ini seharusnya menjadi cerminan bagi Indonesia untuk serius beralih menuju penghapusan hukuman mati. 

Selain itu, sambung Afif, proses eksekusi mati itu sendiri ternyata membutuhkan biaya yang cukup banyak. Setidak-tidaknya negara harus menggelontorkan anggaran sebesar Rp 200 juta untuk satu narapidana. Ketika eksekusi tahun 2015, Pemerintah menggelontorkan APBN sebesar Rp 2 miliar untuk menghukum mati 10 terpidana. 

"Adalah hal yang sia-sia jika Kejaksaan Agung bersama Kejaksaan Negeri Merangin tetap menjalankan eksekusi mati di masa pandemik ini. Mengingat anggaran tersebut bisa dialihkan untuk penanganan pandemik," ungkapnya.

Maka dengan demikian, ditegaskan Afif, LBHM mendesak agar membatalkan eksekusi mati untuk Syofian, Harun dan Sargawi, juga kepada seluruh terpidana mati yang masih memiliki upaya hukum biasa maupun luar biasa. Kemudian meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Kejaksaan Agung RI untuk mengevaluasi kebijakan dan praktik hukuman mati di Indonesia.

"Meminta Presiden untuk fokus terhadap penanganan wabah Covid-19 yang semakin memburuk dan mengalihkan anggaran eksekusi mati untuk penanganan pandemik," ujar Afif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement