REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarifah Aini Dalimunthe mengatakan pentingnya jargon atau istilah ilmiah terkait upaya pencegahan penyebaran Covid-19 diterjemahkan dalam bahasa yang membumi dengan kehidupan rakyat sehari-hari. Dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah memahami sehingga mempraktikkannya.
"Menerjemahkan jargon ilmiah ke dalam pemahaman publik adalah hal yang penting," kata Syarifah yang juga mahasiswa S3 di Universitas Nagoya, Jepang, dalam seminar virtual bertajuk "Managing Covid-19 Pandemic: Experiences from Japan and Lesson Learned for Indonesia", di Jakarta, Jumat.
Di Jepang, contohnya, "social distancing" diterjemahkan dengan sangat spesifik. Istilah itu dijabarkan sebagai menghindari 3C, yakni tempat tertutup (closed spaces), tempat ramai orang atau penuh sesak (crowded places), dan kondisi yang menyebabkan kontak dekat (close-contact settings), seperti percakapan jarak dekat.
Dengan menerapkan strategi menghindari 3C itu, menurut Syarifah, maka masyarakat mudah untuk memahami dan mempraktikkan menjaga jarak dalam kehidupannya. Sebab, meskipun tidak bersentuhan, tapi melakukan percakapan jarak dekat juga sama saja tidak mengaplikasikan upaya menjaga jarak yang benar.
Oleh karena itu, Syarifah menyarankan agar menjaga jarak diterjemahkan sesuai dengan pemahaman publik di tiap negara. Ia mengatakan, risiko terjadinya klaster baru penularan Covid-19 sangat tinggi ketika 3C terjadi tumpang tindih.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Kanazawa, Jepang Prof Atsuro Tsutsumi mengatakan bahwa Indonesia bisa dengan melakukan pembatasan mobilitas antarpulau atau wilayah untuk mencegah penyebaran Covid-19. Menurut dia menerjemahkan istilah ilmiah terkait upaya penanggulangan Covid-19 seperti istilah "social distancing" dan "physical distancing" ke dalam bahasa kehidupan sehari-hari juga menjadi penting untuk membuat masyarakat mudah memahami dan melakukannya.