Kamis 23 Jul 2020 20:39 WIB

LPSK: Permohonan Perlindungan Anak Tertinggi dari Jabar

LPSK menerima 926 permohonan perlindungan terhadap anak sejak 2016 hingga 2020.

Perlindungan anak (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Perlindungan anak (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima 926 permohonan perlindungan terhadap anak sejak 2016 hingga Juni 2020.

"Asal permohonan tertinggi dari Jawa Barat, diikuti DKI Jakarta dan Sumatra Utara," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (23/7).

Edwin mengatakan dari 926 permohonan perlindungan terhadap anak, 482 di antaranya adalah korban kekerasan seksual, 133 korban perdagangan orang, 106 korban eksploitasi perdagangan seksual, dan sisanya berasal dari berbagai kasus yang menempatkan anak sebagai korban. Dalam kesempatan itu, LPSK menyoroti tentang permohonan perlindungan terhadap anak korban eksploitasi perdagangan seksual.

LPSK berdasarkan daerah asal korban, anak yang dilacurkan (AYLA) banyak yang berdomisili di Jawa Barat, diikuti Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta. Sementara berdasarkan tempat terjadinya tindak pidana AYLA, DKI Jakarta berada di tempat teratas, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat.

Adapun untuk tingkat pendidikan, sebagian besar AYLA tidak menyelesaikan pendidikan dasar 12 tahun, bahkan ada yang tidak menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Edwin menyebut pada umumnya, AYLA yang ingin bekerja, mendapatkan informasi pekerjaan dari teman, media sosial, kerabat, dan agen/perekrut.

"Pada awalnya mereka dijanjikan bekerja sebagai pramusaji, pemandu karaoke, penjaga toko dan lainnya dengan janji penghasilan yang memadai," kata Edwin.

Namun pada kenyataannya, kata dia, anak-anak tersebut dieksploitasi saat bekerja, dengan dipekerjakan 10 jam hingga 16 jam per hari, dan melayani sekitar 10 tamu. Mereka dijanjikan penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 20 juta per bulan.

Dia mengatakan, di antara mereka bahkan tidak mendapatkan upah sama sekali. "Mereka juga dipaksa untuk meminum pil KB atau obat kontrasepsi sehingga dapat dieksploitasi secara terus menerus tanpa terhalang siklus menstruasi," ujarnya.

Wakil Ketua LPSK Livia Iskandar mengatakan Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak. Bahkan pada 2016, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk merespons maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, dengan menambah ancaman pidana menjadi paling lama 20 tahun, atau pidana seumur hidup, atau hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Sayangnya, kata Livia, perhatian Presiden terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak belum diiringi dengan kecukupan anggaran bagi pelaksanaan perlindungan anak. "Masalah yang sering ditemui adalah anggaran yang kecil dan SDM dengan kompetensi yang kurang," kata Livia.

Dalam kesempatan itu, LPSK mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan kampanye pencegahan kekerasan seksual terhadap anak. Juga alokasi anggaran yang memadai untuk melakukan perlindungan kepada anak dan perempuan.

Pemerintah juga diharapkan menggalakkan patroli siber menghapus konten pornografi dan prostitusi daring. Dia juga berharap pemerintah mendukung advokasi perlindungan anak dan perempuan yang dilaksanakan LSM, ormas, akademisi, dan membuat jaringan yang operasional.

Menurut Livia, kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan kepada anak. "(Caranya) dengan pengalokasian anggaran yang memadai, kualifikasi SDM kompetitif, dan pembangunan tempat rehabilitasi korban setidaknya di setiap provinsi, kota, dan kabupaten," ujar Livia.

                           

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement