Rabu 22 Jul 2020 14:29 WIB

Kisah Kraton Mataram Setelah Kekalahan Diponegoro

Kisah Kesultanan Mataram Jogja Usai Kekalahan DIponegoro

Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto:

Proses  pergantian kekuasaan di keraton sekilas  biasa  saja. Akan tetapi  ditengah  suasana  perubahan  politik  yang cepat pada tahun tahun tersebut,  tentu  dibutuhkan  seorang  calon pemimpin  yang akan mewakili  zamannya.

Sejak  lama  Keraton di  Jawa,  jikalau  sang  calon raja   tidak  mau  mengikuti  kemauan  kaum  penjajah (Belanda  dan Inggris), maka  dengan mudah  mereka  akan   mencari sosok  lain  yang mau didikte  untuk kepentingan kolonial. Hal  yang sering dilakukan adalah  membuat  politik  pecah  belah  diantara  anggota  keluarga  keraton,  dan ataupun  dengan  memanfaatkan  kalangan  pejabat keraton terutama  patih.

Hal  ini  terjadi  sejak  Pakubowon II  yang kemudian  menyusul  pembelahan  Mataram  menjadi   tiga  Keraton,  Sultan  HB II  era  Daendels dan Rafless  hingga  HB III dan HB  IV. Saat  itu  Diponegoro  sesungguhnya  sebagai  anak  tertua  HB III punya kesempatan  menduduki tahta. Namun  Diponegoro  memilih tidak bisa berkompromi dengan  lebih  bersikap sikap  anti penjajah dan    mengobarkan perlawanan bersenjata  untuk  mengusir  Belanda dari  bumi Jawa.

Untuk  hal inilah sebelum memulai  perundingan dengan Dr  Adam, langkah  pertama  yang dilakukan adalah  mengumpulkan  semua kerabatan  keraton, terutama  para  putra  HB VII  dan  HB VIII. Secara langsung Ia menanyakan kepada mereka, siapa  di antara  mereka  yang  mempunyai keinginan untuk  menjadi Sultan HB IX? Dalam pertemuan  itu secara spontan dan  kompak  ada kesepakatan dan  penegasan  bahwa diantara  mereka  tak ada yang  ingin  menjadi  HB IX.  

Hal  itu  dilakukan Dorodjatun sekalipun  belum diangkat sebagai  putra  mahkota. Secara simbolik Ia menerima  keris  Kyai  Jaka  Piturun dari  ayahnya di  Hotel Des Indes. Beberapa  hari  kemudian    HB VIII  mangkat. Gubernur  Dr  Adam mengambil alih  kekuasaan  keraton Jogjakarta  sambil menunggu diangkatnya  sultan baru. Gubernur  Jogjakarta  ini mengangkat suatu  kepanitiaan untuk  mengurus  pemerintahan  keraton   yang  berjumlah  lima  orang,  diketuai Doradjatun.

Gubernur  Dr  Adam  mungkin  salah  mengira,  “anak  kuliahan”   yang  diangkat  menjadi calon raja  ini  akan gampang ditundukan.  Sebagaimana  pengalaman  terhadap  berbagai  suksesi  keraton   Jawa  di masa  lalu  jika  menghadapi  kondisi  tidak  normal. Namun, Doradjatun   yang   sejak kecil  sudah  dititipkan  pada  keluarga Belanda  dan kemudian  bersekolah di negeri Belanda, betul-betul menguasai  bahasa  Belanda  dalam  perundingan  dan  juga  mampu  menyelami  akal  berfikir   bangsa  Belanda  saat  itu—Dr  Adam..

Cara-cara pecah  pelah sempat  diupayakan  Belanda untuk menggoyahkan  pendirian  Dorodjatun dalam  perundingan.  Pepatih  Dalem KPAA  Danurejo diminta  Belanda untuk  membujuk  sang calon raja  yang keras  kepala  ini. Pangeran yang sudah  berumur  ini mendesak  Dorodjatun  karena  perundingan sudah  terlalu  lama. Untuk  hal  ini, ia  menjawab, “Kalau Paman  yang  hendak  menjadi  Sultan, silakan.”. 

Bisikan  ghaib  di sore   hari  itu, mengakhiri perdebatan  maraton berbulan-bulan. Pertemuan berikutnya yang dijadwal dengan  Dr  Adam  hanya berlangsung sepuluh  menit. “Silakan Gubernur  menyusun  kontrak  politik itu. Nanti  saya  tandatangani!”. Tidak  ada  diskusi, tidak  lagi perdebatan. Betapa  heran  Gubernur Adam saat itu.  mengapa calon raja  ini  tiba-tiba  berubah?

Dalam  pengakuan selanjutnya, Sultan HB IX bercerita, andaikata  perundingan  dengan Gubernur Yogyakarta  tetap  mengalami  jalan  buntu,  biasanya Belanda akan  bertindak  “nakal”. Calon raja  akan  dicap sebagai  pemberontak  dan  biasanya dibuang. Atau  memperalat  salah satu  anggota  keluarga keraton  yang akan dijadikan  sultan.

Wallahu ‘alam Bishawab

----------

Sumber:  Buku  Tahta Untuk Rakyat, Celah Celah Kehidupan  Hamengkubowono IX,  Atmakusumah (Penyunting), Kompas  Gramedia, Jakarta, 2002..

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement