Rabu 22 Jul 2020 13:29 WIB

Fakta Baru Kemungkinan Penularan Covid-19 Lewat Udara

Bersikap waspada dan selalu menjaga diri penting cegah penularan Covid-19.

Ilmuwan terus melakukan penelitian mengenai potensi penularan virus corona jenis baru melalui udara. Menjaga jarak dan mengenakan masker merupakan salah satu upaya cegah penularan Covid-19.
Foto: EPA-EFE/ALEX PLAVEVSKI
Ilmuwan terus melakukan penelitian mengenai potensi penularan virus corona jenis baru melalui udara. Menjaga jarak dan mengenakan masker merupakan salah satu upaya cegah penularan Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira, Puti Almas, Kamran Dikarma

Masih banyak yang belum diketahui oleh manusia tentang virus corona jenis baru atau Covid-19. Ilmuwan terus mengulik seputar Covid-19, terutama bagaimana Covid-19 bisa menyebar dan upaya mencegah Covid-19 lewat vaksin.

Baca Juga

Sebuah studi baru oleh para ilmuwan di Universitas Nebraska menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa SARS-CoV-2 yang diambil dari mikrodroplet, dapat mereplikasi dalam kondisi laboratorium. Temuan tersebut meningkatkan hipotesis bahwa berbicara dan bernapas secara normal, tidak hanya batuk dan bersin, bertanggung jawab untuk menyebarkan Covid-19.

Selain itu, dosis infeksi virus dapat menempuh jarak yang jauh lebih besar daripada dua meter yang didorong oleh pedoman jarak sosial. Hasil penelitian ini memang masih dianggap pendahuluan dan belum muncul dalam jurnal peer-review, yang akan memberikan kredibilitas lebih untuk metode yang dirancang oleh para ilmuwan. Makalah ini diunggah ke situs web medrxiv.org, di mana sebagian besar penelitian mutakhir selama pandemi pertama kali dipublikasikan.

Tim yang sama menulis makalah pada Maret yang menunjukkan bahwa virus itu tetap mengudara di kamar pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit. Penelitian ini akan segera diterbitkan dalam jurnal.

"Sebenarnya cukup sulit untuk mengumpulkan sampel," ujar Joshua Santarpia, seorang profesor di Pusat Medis Universitas Nebraska dikutip laman Channel News Asia, Rabu (22/7).

Tim ilmuwan menggunakan perangkat seukuran ponsel untuk tujuan itu. Namun konsentrasinya biasanya sangat rendah, peluang untuk mendapatkan kembali bahan itu pun kecil.

Para ilmuwan mengambil sampel udara dari lima kamar pasien yang terbaring di tempat tidur, dengan ketinggian sekitar 30 cm di atas kaki tempat tidur mereka. Para pasien berbicara, yang menghasilkan mikrodroplet yang melayang di udara selama beberapa jam dalam apa yang disebut sebagai "aerosol" dan beberapa sampel batuk.

Tim berhasil mengumpulkan mikrodroplet sekecil diameter satu mikron. Mereka kemudian menempatkan sampel-sampel ini ke dalam kultur untuk membuatnya tumbuh, menemukan bahwa tiga dari 18 sampel yang diuji dapat ditiru.

Bagi Santarpia, ini merupakan bukti bahwa mikrodroplet, yang juga menempuh jarak yang jauh lebih besar daripada tetesan besar, mampu menginfeksi manusia. "Ini direplikasi dalam kultur sel dan karenanya menular," katanya.

Potensi penularan mikrodroplet dari virus corona pada satu tahap dianggap mustahil oleh otoritas kesehatan di seluruh dunia. Belakangan, para ilmuwan mulai mengubah pendapat mereka. Penggunaan masker pun dinilai sangat perlu untuk menghindari sebaran mikrodroplet. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO termasuk lembaga yang terakhir untuk mengubah posisinya dalam mewajibkan memakai masker.

"Saya merasa debat menjadi lebih politis daripada ilmiah," kata Santarpia. "Saya pikir sebagian besar ilmuwan yang bekerja pada penyakit menular setuju bahwa ada kemungkinan komponen udara, meskipun kita mungkin berdebat tentang seberapa besar," uhajnya menambahkan.

Linsey Marr, seorang profesor di Virginia Tech yang merupakan pakar terkemuka dalam penularan virus melalui udara dan tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan jarang mendapatkan pengukuran jumlah virus yang ada di udara. "Berdasarkan apa yang kita ketahui tentang penyakit lain dan apa yang kita ketahui sejauh ini tentang SARS-CoV-2, saya pikir kita dapat berasumsi bahwa jika virus itu 'menular secara aerosol,' maka kita dapat terinfeksi dengan menghirupnya," katanya, dilansir dari Channel News Asia.  

Masih ada lagi fakta baru seputar Covid-19 yang terus diuji oleh ilmuwan. Salah satunya adalah penelitian di Inggris tentang faktor etnis dan sosial ekonomi nampanya berkontribusi terhadap tingkat kematian akibat infeksi virus corona jenis baru. Dalam studi terbaru, lebih  dari 17 juta data pasien di Inggris dianalisis untuk faktor risiko yang berkontribusi terhadap kematian terkait penyakit ini.

National Health Service (NHS) Inggris melakukan studi melalui OpenSAFELY, sebuah  platform analitik kesehatan yang menggunakan data anonim sekitar 40 persen dari semua pasien Covid-19 di negara itu untuk lebih memahami dampak virus corona jenis baru.  Dalam studi yang dipublikasikan di Nature, para peneliti mengaitkan data dengan kematian akibat Covid-19 untuk memahami apa yang membuat orang lebih mungkin meninggal akibat penyakit ini. Data terakhir berasal dari 6 Mei, yang berarti jumlahnya mungkin terlihat berbeda hari ini.

Risiko kematian secara keseluruhan adalah 90 hari setelah dimulainya penelitian yang kurang dari 0,01 persen pada mereka berusia antara 18 dan 39 tahun, naik menjadi 0,67 persen dan 0,44 persen pada pria dan wanita yang masing-masing berusia 80 tahun dan lebih tua. Bahkan, mereka yang di atas 80 memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi meninggal akibat Covid-19 dibandingkan dengan orang di usia 50 tahun ke atas.

Selain faktor risiko usia, gender seperti laki-laki, serta obesitas dan penyakit penyerta seperti diabetes juga berpengaruh. Para peneliti juga menemukan bahwa pasien etnis kulit hitam dan Asia Selatan jauh lebih mungkin tidak dapat melawan penyakit, meskipun hanya 11 persen dari pasien.

"Temuan kami menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari risiko berlebih yang dijelaskan oleh prevalensi yang lebih tinggi dari masalah medis seperti penyakit kardiovaskular atau diabetes di antara orang kulit hitam dan etnis minoritas, atau perampasan yang lebih tinggi,” ujar tim peneliti, dilansir Health 24, Rabu (22/7).

Tim peneliti juga mengatakan studi untuk pertama kalinya menunjukkanhanya sebagian kecil dari peningkatan risiko kematian terkait Covid-19 yang secara substansial di antara kelompok non-kulit putih dan di antara orang yang tinggal di daerah yang lebih miskin dapat dikaitkan. Mereka merekomendasikan agar lebih banyak penelitian dipertimbangkan dengan alasan mengapa kelompok yang tidak berkulit putih terkena dampak negatif, termasuk alasan seperti paparan pekerjaan dan kondisi kehidupan. Penting untuk dicatat bahwa skenario ini mungkin hanya relevan untuk Inggris atau negara-negara Barat lainnya.

Studi juga menemukan asma yang parah menjadi faktor risiko tinggi, meskipun penelitian sebelumnya tidak melihat angka kematian yang tinggi pada penderita asma. Satu statistik menarik terkait dengan merokok.

Para peneliti menemukan merokok tidak menempatkan seseorang pada risiko kematian yang lebih tinggi, kecuali mereka memiliki komorbiditas akibat kebiasaan buruk konsumsi produk mengandung nikotin tersebut. Namun,  ilmuwan berpendapat bahwa lebih banyak penelitian dilakukan dan tidak menganggap nikotin sebagai pelindung dari virus corona jenis baru.

OpenSAFELY masih mengumpulkan data dan akan terus menggunakan platform untuk menghasilkan wawasan lebih lanjut tentang Covid-19. Sebelumnya, sejumlah kekhawatiran dikemukakan oleh beberapa ahli epidemiologi dan ilmuwan data ketika penelitian ini diterbitkan sebagai cetakan di surat terbuka, mengingatkan kata-kata dalam penelitian ini dapat ditafsirkan atau dipahami dengan salah.

Saat ini secara keseluruhan sudah terdapat lebih dari 15 juta kasus Covid-19 di dunia. Akibatnya, sebanyak 619.593 orang dunia sudah meninggal dari Covid-19. Amerika Serikat menduduki peringkat pertama kasus Covid-19 terbanyak di dunia, disusul oleh Brazil, India, dan Rusia di tempat keempat.

Presiden Donald Trump memperingatkan pandemi Covid-19 di negaranya mungkin akan memburuk sebelum menjadi lebih baik. Dia meminta seluruh warga AS tetap menerapkan protokol kesehatan.

"Sayangnya pandemi mungkin akan menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik," kata Trump dalam pengarahan pers di Gedung Putih pada Selasa (21/7), dikutip laman BBC.

Trump mengaku tak suka menyampaikan hal tersebut, tapi begitulah keadaannya. "Kami meminta semua orang bahwa ketika Anda tidak dapat (menerapkan) jarak sosial, pakai masker, peroleh masker. Apakah Anda suka atau tidak, mereka (masker) memiliki dampak, mereka akan memiliki efek dan kita membutuhkan semua yang bisa kita dapatkan," ujarnya.

Selain penggunaan masker, dia meminta warga AS tetap menerapkan jarak sosial dan mencuci tangan pada setiap kesempatan. "Kami memohon kaum muda Amerika untuk menghindari bar yang penuh sesak dan pertemuan dalam ruangan yang ramai lainnya," ucap Trump.

Pada pengarahan pers tersebut, Trump berulang kali mengatakan bahwa virus corona akan menghilang suatu hari. Lebih dari 144 ribu warga Amerika telah meninggal akibat infeksi virus.

photo
Masker Tiga Lapis WHO - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement