REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Puti Almas, Indira Rezkisari
Kampanye untuk calon presiden di Amerika telah dimulai sejak beberapa waktu lalu. Presiden Donald Trump telah mulai berkampanye sejak akhir bulan lalu.
Kini giliran kandidat penantang Trump, yaitu panyanyi rap Kanye West. Hari ini (20/7), Kanye West menggelar kampanye pertamanya sebagai calon presiden dengan mengoceh soal aborsi yang ia tentang, berdebat dengan orang-orang yang hadir, dan, pada satu titik, tangisnya pecah.
West (43 tahun) belakangan ini membuat kalangan pemilih bingung apakah ia menjalankan kampanye atas niat yang jujur atau sekedar aksi publisitas untuk mendongkrak penjualan album dan pernak-pernik dagangannya. West menyampaikan komentar yang bertele-tele selama acara kampanye yang berlangsung di Charleston, South Carolina, tempat pernikahan dan tempat konferensi.
Dalam sambutannya yang berlangsung lebih dari satu jam, ia mengecam aborsi. Penyanyi rap itu juga mengeluarkan sumpah serapah, meminta hadirin secara acak untuk berbicara, dan kadang-kadang tampak mengajukan usulan-usulan soal kebijakan yang sedang berjalan.
Acara, yang disiarkan secara langsung di YouTube dan ditayangkan di stasiun televisi lokal itu, dan tidak banyak menjelaskan apakah West benar-benar berusaha memenangi kursi kepresidenan.
Kampanye yang ia luncurkan melalui cicitan 4 Juli sebenarnya telah lewat dari tenggat untuk tampil pada pemungutan suara di beberapa negara bagian utama. West muncul di panggung dengan cukuran rambut membentuk angka "2020" di belakang kepalanya. Ia mengenakan rompi bergaya militer.
Menurut West, aborsi perlu dilegalkan namun harus didorong untuk dihindari. Ia menyatakan bahwa, sebagai presiden, ia akan membuat kebijakan untuk menyediakan uang satu juta dolar (sekitar Rp 14,6 miliar) atau "sesuatu untuk keluarga yang bersangkutan" bagi siapa pun yang melahirkan anak.
West beberapa kali mengutip Injil dan ajaran Kristen. Pada satu titik, tangisnya pecah ketika menggambarkan bagaimana ia hampir digugurkan dari kandungan oleh orang tuanya. "Satu-satunya hal yang bisa membebaskan kita adalah dengan mengikuti aturan yang diberikan kepada kita di tanah harapan," katanya.
"Aborsi harus dilegalkan karena apa? Bagaimanapun hukum dibuat bukan oleh Tuhan, jadi buat apa legalitas?"
West dalam pidato kampanyenya juga menyinggung pernah menginginkan sang isfri, Kim Kardashian untuk melakukan aborsi. Tak sampai di sana, ia juga mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyebut bahwa Harriet Tubman, seorang budak pada abad ke-19 yang terkenal dengen kisah heroiknya justru adalah orang yang tak pernah benar-benar membebaskan para budak.
“Ayahku dulu ingin menggugurkanku, tapi ibuku menyelamatkan hidupku. Tidak akan ada Kanye West karena ayahku terlalu sibuk. Aku hampir membunuh putriku!” ujar West, dilansir France 24.
Lebih lanjut, West menyebut Tubman yang tak pernah benar-benar membebaskan para budak, seperti dalam kisah heroik yang selama ini diketahui orang-orang. Sebaliknya, ia mengatakan Tubman hanya meminta para budak pergi bekerja untuk orang kulit putih lainnya.
Pidato kampanye West menjadi viral setelah diunggah di media sosial. Tak sedikit orang yang berkomentar negatif, termasuk merasa marah, serta menilai bahwa tidak seharusnya ia memberikan kata-kata yang kontroversial.
West membuat acara di Charleston hanya untuk tamu terdaftar. Semua peserta diharuskan menandatangani formulir tanggung jawab atas risiko infeksi virus corona jenis baru (Covid-19) serta memakai masker dan menerapkan aturan jarak sosial.
Acara kampanye itu berlangsung dengan beberapa kemiripan pada kampanye biasanya yang digelar oleh para kandidat. Tidak ada mikrofon yang disediakan untuk orang-orang yang hadir. Jadi, West beberapa kali meminta hadirin untuk tidak mengeluarkan suara agar orang-orang yang ia tunjuk bisa terdengar ketika berbicara, dikutip dari Reuters.
Kurang dari empat bulan menjelang pemilihan Presiden AS November mendatang, West pada 4 Juli lalu mengumumkan melalui jejaring sosial Twitter bahwa ia akan menantang Trump. Meski demikian, rapper tersebut hampir tidak menawarkan rincian tentang kampanyenya.
Terdapat sebuah laporan mulai beredar di media AS pekan lalu bahwa West telah keluar dari pemilihan presiden. Ia diketahui melewatkan tenggat waktu di beberapa negara bagian untuk dicantumkan dalam pemungutan suara presiden, tetapi terdaftar pada pemungutan suara di Oklahoma.
Amerika, seperti juga terjadi di Indonesia dan banyak negara dunia lain, sudah berulang kali memiliki politikus atau pemimpin yang berlatar belakang selebritas atau artis. Penyanyi Sonny Bono yang berduet dengan Cher menjadi Wali Kota Palm Springs, California, di tahun 1988. Dia lalu terpilih sebagai anggota dewan di tahun 1994.
Lalu ada pegulat profesional Jesse Ventura yang terpilih sebagai Gubernur Minnestota di 1999. Ia memegang posisi tersebut hingga 2003.
Kemudian tentu ada Gubernur California yang kemudian menjadi Presiden Amerika, Ronald Reagan. Sebelumnya ia lebih dikenal sebagai aktor Hollywood.
Fenomena selebritas sebagai kepala negara bahkan kini terjadi di beberapa negara. PM Pakistan, Imran Khan, adalah bekas pemain kriket, Presiden Guatemala, Jimmy Morales, merupakan seorang komedia. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, bahkan adalah seorang aktor yang memerankan tokoh presiden di televisi Ukraina.
Dilansir dari Channel News Asia, Natasha Lindstaedt, profesor di bidang pemerintahan Universitas Essex, mengatakan selebritas dan politik bak pasangan yang serasi. Selebritas dikenal sebagai sosok yang karismatik dan mudah bergaul dengan media.
Natasha mengatakan selebritas juga memiliki pengalaman di depan kamera dan citra yang sudah terbentuk. Di era digital, mereka bahkan memiliki pengalaman yang lebih baik dalam berinteraksi di media sosial.
Tidak seperti sosok yang tiba-tiba muncul, selebritas memiliki keuntungan karena namanya telah lebih dulu dikenal. Berkembangnya politikus berlatar belakang selebritas berkaitan dengan perubahan dari politik tradisional ke kemampuan mengatur media dan menggalang dana. Meski selebritas mungkin tidak memiliki kualitas yang cukup untuk menjalani tugas pemerintahan, mereka bisa menarik perhatian yang besar dari media tanpa sebelumnya sudah harus memiliki kemampuan politik.
Kembali ke Kanye West, ia sudah berulang kali mengajukan keinginannya maju sebagai Presiden. Pada tahun 2015, keingian itu diutarakannya. Tapi tidak pernah ditindaklanjuti. November tahun lalu, dikutip dari laman ABC Australia, Kanye mengatakan memilih maju di tahun 2024.
Kandidat independen yang maju terlambat tercatat sulit untuk unggul. Pada Agustus 2016, mantan operatif CIA, Evan McMullin, mengajukan diri akan maju untuk November. Dia sudah mengumpulkan 1,6 juta dolar AS dan menang 0,53 persen dari jajak pendapat populer.
Larry Sabato, direktur Center for Politics University of Virginia, mengatakan kepada Reuters kalau Kanye mungkin akan meraih suara dengan persentase sangat kecil. "Dia butuh usaha yang panjang untuk membuktikan kalau ia serius," kata Sabato.
Kandidat independen tetap bisa mempengaruhi hasil pemilihan. Di 1992, pebisnis Ross Perot meraih 19 persen suara populer dan memecah hasil untuk Partai Republik. Suara yang kecil di Amerika tetap bisa menentukan hasil akhir.
Pada tahun 2000, kandidat Partai Hijau, Ralph Nader mendapatkan 10 ribu suara di Florida yang menentukan hasil sebanyak 500 suara. Jika Nader tidak mendapat suara sebanyak itu, Al Gore bisa menjadi presiden bukan George W Bush.
Di Amerika, partai besar bisa menggunakan suara minoritas untuk secara efektif mengambil suara dari oposisi. Pertanyaan muncul, apakah Kanye akan memecah suara kandidat tertentu?