REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi memperpanjang masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) fase 1 hingga dua pekan ke depan. Pakar epidemiologi memberi catatan, perpanjangan PSBB transisi kembali ini harus dibarengi dengan sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan, apabila tidak maka PSBB transisi ini dianggap sia-sia.
Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia, dr Syahrizal Syarif sejak awal sudah memperkirakan Pemprov DKI Jakarta akan tetap memperpanjang masa PSBB transisi fase 1, walau angka penularan masih tinggi. Opsi ini, menurut dia, dipilih karena lebih masuk akal dibandingkan dengan melakukan emergency brake atau 'rem darurat', kembali ke PSBB awal dengan segala pembatasannya.
Menurut dia, salah satu kunci agar perpanjangan PSBB transisi fase 1 ini tidak sia-sia, Pemprov DKI harus sudah mulai tegas dan berani memberi sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan. "Sekarang kuncinya tinggal pemberian sanksi tegas bagi pelanggar, tidak lagi hanya dinasehati," kata Syahrizal, Jumat (17/7).
Ia menilai ketegasan Pemprov DKI ke para pelanggar protokol kesehatan ini masih kurang. Sehingga, masih banyak warga yang tetap abai dan santai beraktivitas ke luar rumah tanpa masker, tanpa mencuci tangan dan tanpa menjaga jarak aman.
Padahal, kata dia, kunci keselamatan dari penularan Covid-19 di tempat umum saat ini adalah tiga hal itu, dimana sudah ada penelitiannya dan hasil ilmiahnya.
Syahrizal menekankan PSBB transisi sekarang harus jadi momen kedisiplinan bersama bukan hanya bagi Pemprov DKI, tapi juga masyarakat Jakarta. Karena di tengah Pemprov DKI bergerak melakukan active case finding melalui kontak tracing, seharusnya warga juga mensupport menjalankan protokol kesehatan. Sehingga apabila ada ditemukan kasus dalam satu wilayah, area tersebut harus melakukan isolasi dengan lokal lockdown secara ketat.
"Saya mengusulkan kalau ada claster pemukiman di Jakarta, ada baiknya satu RW di cluster tersebut di isolasi ketat terlebih dahulu. Dijaga jangan sampai warga disana beraktivitas keluar dan berinteraksi dengan RW di tempat lain," imbuhnya.
Tanpa ada ketegasan sanksi dan pemberlakuan lokal lockdown sementara, ia menilai, akan sulit mencegah angka penularan walaupun telah dilakukan tes PCR jauh lebih banyak, dari yang disyaratkan WHO. "Karena saya tidak percaya tingkat kesadaran kesehatan warga kita tinggi. Nah sekarang solusinya kalau angkanya terus naik, ya perketat sanksi protokol kesehatannya," tegas dia.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan perpanjangan PSBB transisi fase 1 yang diambil itu berdasarkan pada berbagai masukan, data, dan analisis lintas sektor. Pertama Anies berdasarkan data jumlah tes yang dilakukan Pemprov DKI terus meningkat mengikuti standar WHO tes ke 10.000 orang pada setiap 1 juta orang, per pekan.
Saat ini, kata Anies, Jakarta sudah mampu melakukan tes sebesar 3,6 kali lipat dari rekomendasi WHO. "Seminggu terakhir adalah 3.610 prang yang dites per sejuta penduduk,” ucap Anies dalam keterangan pers daring, Kamis (16/7) malam.
Kedua, angka positivity rate dalam 5 minggu kemarin beeada di baeah angka 5 persen sesuai yang disyaratkan WHO. Walaupun pada minggu ke-6 atau seminggu terakhir, positivity rate di Jakarta meningkat 5,9 persen. Kondisi ini menurut Gubernur Anies harus diwaspadai, meski angka 5,9 persen masih di bawah rata-rata tren nasional.
Namun demikian, dalam seminggu terakhir terjadi kenaikan Bed Occupancy Rate (BOR) di RS Rujukan Covid-19 di Jakarta, dari 34 persen menjadi 45 persen. Sedangkan Bed Occupancy Rate utk ICU mengalami penurunan dari 31 persen persen menjadi 25 persen terisi dalam seminggu terakhir.
"Artinya, jumlah pasien dengan gejala berat alhamdulillah menurun, namun terjadi peningkatan jumlah pasien dengan gejala ringan dan sedang," terangnya.