REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Aboebakar Alhabsyi menilai pemerintah pelu mempetimbangkan ulang terkait rencana pembentukan Tim Pemburu Koruptor (TPK). Dia melihat, tim pemburu koruptor yang sebelumnya pernah ada dianggap kurang optimal.
"Setiap periode kepemimpinan sepertinya hanya mampu menangkap satu buron kelas kakap, bahkan terlihat ada yang tidak produktif," kata Alhabsyi dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (14/7).
Dia mencontohkan, saat Basrief Arief memimpin TPK selama tiga tahun, tim tersebut hanya menangkap mantan Direktur Bank Servitia David Nusa Wijaya yang menjadi tersangka kasus korupsi BLBI. Kemudian saat dipimpin Muchtar Arifin, TPK menangkap tersangka kasus BLBI Adrian Kiki Irawan. Sedangkan saat diketuai Abdul Hakim Ritonga, ia menganggap TPK justru loyo lantaran tak menangkap satupun koruptor.
"Tentunya hal ini perlu menjadi bahan evaluasi, apa kita mau mengulang lagi situasi tersebut. Sedangkan masih ada peluang untuk mengambil strategi lain dalam pemberantasan korupsi," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut.
Alhabsyi mengungkapkan bahwa problem pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yaitu sifatnya yang sistemik. Dia mencontohkan buronan Djoko Chandra yang tidak terdeteksi oleh sistem keimigrasian Indonesia.
"Sistem adminduk kita juga tidak terintegrasi, Djoko Tjandra bisa bikin E-KTP dengan mudah, bahkan didampingi lurah. Ini tentunya ada problem juga pada para aparatnya," tegasnya.
Begitu juga Harun Masikhu yang juga masih buron sampai saat ini. Ia memandang bahwa inti kesuksesan perburuan koruptor ada pada kehendak politik (political will) dan integritas aparatnya.
"Saya juga ingatkan akan pentingnya asset recovery, jangan sampai kita semangat memburu mereka namun tidak melakukan pengembalian asset negara. Tentunya ini bisa berdampak kantong negara semakin bolong," imbuhnya.