Selasa 14 Jul 2020 19:38 WIB

Herd Immunity Sepertinya tak Berlaku untuk Pandemi Covid-19

Ada kasus seseorang bisa terinfeksi kembali membuat konsep herd immunity diragukan.

  Seorang pasien menerima uji coba vaksin yang berpotensi menjadi vaksin Covid-19.
Foto: Ted S. Warren/AP
Seorang pasien menerima uji coba vaksin yang berpotensi menjadi vaksin Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Umi Nur Fadhilah, Idealisa Masyrafina, Gumanti Awaliyah, Wahyu Suryana

Seorang dokter ahli penyakit organ dalam yang berbasis di Washington DC dan mantan staf pengajar Harvard Medical School mengklaim bahwa konsep kekebalan kawanan (herd immunity) dapat memperlambat pandemi Covid-19 hanyalah angan. Hal itu diungkapkan setelah seorang pasien berusia 50 tahun terinfeksi Covid-19 untuk kedua kalinya.

Baca Juga

“Selama infeksi pertamanya, pasien saya mengalami batuk ringan dan sakit tenggorokan,” kata dr. Clay Ackerly dilansir di Fox News, Selasa (14/7).

Kemudian, infeksi kedua ditandai dengan demam tinggi, sesak napas, dan hipoksia yang membuatnya beberapa kali berobat ke rumah sakit. Dia memperkirakan, pasiennya mengalami infeksi tunggal yang berlangsung selama tiga bulan.

“Beberapa pasien Covid-19 (sekarang dijuluki long haulers) tampaknya menderita infeksi dan gejala persisten,” ujar dia.

Ackerly memastikan pasiennya itu sudah sempat sembuh dari Covid-19 dengan bukti dua kali tes PCR yang menunjukkan hasil negatif saat infeksi pertamanya. Pasien itu merasa sehat selama enam pekan sampai akhirnya kembali terinfeksi.

Kekebalan kawanan adalah konsep dalam dunia kesehatan ketika virus tidak bisa lagi menyebar dengan mudah, karena cukup banyak orang yang telah kebal terhadapnya. Kondisi itu menurunkan kemungkinan virus menginfeksi dari orang ke orang dan menjangkau mereka yang belum terinfeksi.

Orang bisa menjadi kebal terhadap virus tertentu setelah selamat dari infeksi atau divaksinasi. Biasanya, setidaknya 70 persen dari populasi harus kebal untuk mencapai kekebalan kelompok. Namun, berapa lama kekebalan kelompok berlangsung itu bervariasi, tergantung pada virus, serta belum diketahui berapa lama pasien Covid-19 yang selamat memiliki perlindungan itu.

Namun, sebuah studi terbaru di Spanyol telah meragukan kelayakan kekebalan kelompok sebagai cara untuk mengatasi pandemi virus corona. Studi terhadap lebih dari 60 ribu orang memperkirakan bahwa hanya sekitar 5 persen dari populasi Spanyol yang mengembangkan antibodi, menurut laporan jurnal medis the Lancet.

Menurut laporan studi tersebut, dilansir di BBC, Rabu (8/7), prevalensi antibodi Covid-19 di bawah 3 persen di wilayah pesisir, tetapi lebih tinggi di wilayah Spanyol dengan wabah yang luas.

"Meskipun dampak tinggi Covid-19 di Spanyol, perkiraan prevalensi tetap rendah dan jelas tidak cukup untuk memberikan kekebalan kawanan," kata penulis studi dalam laporan itu.

Kekebalan kelompok, kata laporan tersebut, tidak dapat dicapai tanpa menerima kerusakan jaminan dari banyak kematian pada populasi yang rentan dan membebani sistem kesehatan secara berlebihan.

"Dalam situasi ini, langkah-langkah jarak sosial dan upaya untuk mengidentifikasi dan mengisolasi kasus-kasus baru dan kontak mereka sangat penting untuk pengendalian epidemi di masa depan." jelas laporan itu.

Studi ini dianggap sebagai yang terbesar dari jenisnya pada virus corona di Eropa. Ada penelitian yang serupa di China dan AS dan temuan kunci dari kelompok perwakilan ini adalah bahwa sebagian besar populasi tampaknya tetap tidak terpapar pada virus corona, bahkan di daerah dengan sirkulasi virus yang luas.

Prof Danny Altmann, juru bicara Masyarakat Inggris untuk Imunologi dan Profesor Imunologi di Imperial College London, menggambarkan penelitian ini sebagai hal yang serius.

"Temuan seperti ini memperkuat gagasan bahwa dihadapkan dengan infeksi mematikan yang menginduksi kekebalan yang agak berumur pendek, tantangannya adalah untuk mengidentifikasi strategi vaksin terbaik yang dapat mengatasi masalah ini dan merangsang respons imun yang besar, berkelanjutan, optimal, dengan cara  virus gagal melakukannya," kata Prof Altmann.

Peneliti Virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM, dr. Mohamad Saifudin Hakim mengatakan herd immunity melalui vaksinasi akan jauh lebih aman dibanding infeksi secara alami. Sebab, vaksin telah didesain sedemikian rupa, baik dari komponen virus atau virus yang dilemahkan, untuk merangsang terbentuknya kekebalan tubuh, dan tidak menimbulkan sakit atau penyakit.

Selain itu, vaksinasi tidak menyebabkan seorang individu jadi infeksius atau dapat menular karena bahan vaksin hanya dibuat dari partikel virus. Atau, virus hidup yang dilemahkan yang dihilangkan potensi atau gen penularannya.

Cara vaksinasi ini juga telah dikaji melalui ribuan penelitian di seluruh dunia. Serta, hanya menimbulkan efek samping yang minimal bagi tubuh yang telah diketahui dan bisa diantisipasi oleh petugas kesehatan terlatih.

Sebaliknya, herd immunity infeksi secara alami sangat berisiko. Tidak hanya menyebabkan terjadinya sakit atau penyakit, tapi individu yang terkena infeksi alami juga berpotensi menjadi agen penularan.

Kondisi itu akan semakin memakan banyak korban jiwa sampai tahap penularan dapat berhenti. Terutama, setelah individu yang tersisa bisa bertahan hidup dan memiliki kekebalan.

Sedangkan, dalam kasus Covid-19, belum ada kepastian apakah kekebalan yang didapat secara alami terhadap SARS-CoV-2 benar-benar dapat melindungi seseorang dalam jangka waktu yang lama. Atau, tidak akan terinfeksi kembali.

"Sayangnya, untuk kondisi sekarang ini, vaksin masih agak jauh tahap pengembangannya untuk bisa secara efektif mengatasi Covid-19," kata Dosen Departemen Mikrobiologi FKKMK UGM ini.

Penemuan vaksin yang masih berada di jalan panjang menjadikan banyak negara harus menekan penularan virus SARS-CoV-2 dengan pembatasan aktivitas sosial yang ketat. Hanya saja, lanjut Hakim, skenario herd immunity dengan infeksi alami untuk mengatasi penyebaran SARS-CoV-2 ini dirasa sangat tidak etis.

"Karena secara praktis, sama saja membiarkan kelompok masyarakat tertentu yang memang rentan terkena dampak infeksi yang berat. Misal, kelompok usia tua, kelompok masyarakat berpenyakit komorbid, dan individu dengan gangguan autoimun atau berbakat alergi," kata Hakim.

China menjadi yang terdepan dalam balapan menciptakan vaksin Covid-19, setelah vaksin produksi Sinovac Biotech (Sinopharm) menjadi yang kedua di China dan ketiga di dunia yang memasuki tahap akhir uji pada akhir bulan ini. Saat ini hanya ada dua vaksin Covid-19 yang telah memasuki fase III uji klinis. Satu dari Sinopharm dan lainnya vaksin produksi AstraZeneca dan Universitas Oxford.

photo
Beda Herd Immunity Alami dan Via Vaksinasi - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement