Selasa 14 Jul 2020 18:05 WIB

Penunjukan Kemhan Kelola Food Estate Dipertanyakan

Food Estate dikembangkan sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi
Foto: Dok Pribadi
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penunjukan Kementerian Pertahanan (Kemhan) sebagai leading sector dalam pengembangan food estate di Kalimantan Tengah dipertanyakan. Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan, penunjukkan itu dilandasi oleh perspektif pertahanan negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Menurut Dahnil, dalam pasal 6 pada UU tersebut dinyatakan, pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan daya tangkal negara dan bangsa, serta menanggulang isetiap ancaman. Kemhan, kata dia, memahami ancaman itu terdiri dari ancaman militer, nirmiliter, dan hibrida.

Dia mengatakan, berdasarkan apa yang telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, yang mengutip peringatan organisasi pangan dan pertanian dunia PBB, ada potensi ancaman krisis pangan dunia di waktu-waktu yang akan datang. Ancaman itu datang seiring merebaknya pandemi Covid 19 ataupun krisis-krisis yang disebabkan karena faktor-faktor lainnya.

"Oleh sebab itu, perlu diantisipasi sedini mungkin agar kita tidak mengalami krisis pangan. Maka, perlu dipersiapkan cadangan pangan yang cukup di masa yang akan datang, nah salah satunya melalui pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah," kata Dahnil dalam keterangannya, Selasa (14/7).

Food Estate di Kalimantan Tengah itu, kata dia, dikembangkan sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis demi pertahanan negara. Menurut dia, Food Estate bukanlah program cetak sawah, melainkan pengembangan pusat pangan. 

"Selain menananm padi, di sana juga akan dikembangkan pusat-pusat pertanian pangan lainnya sesuai dengan kondisi lahan yang ada," katanya.

Dahnil mengatakan, program tersebut itu dapat menjadi cadangan logistik strategis untuk pertahanan negara yang berfungsi membantu Kementerian Pertanian dan Bulog bila suatu saat dalam kondisi tertentu kita kekurangan supply pangan. Dengan adanya cadangan pangan yang sudah dikembangan dan dipersiapkan di Food Estate itu, maka terdapat cadangan logistik yang siap dipergunakan.

Dia mengatakan, Food Estate dikembangkan untuk beberapa maksud. Pertama, sebagai pusat produksi cadangan pangan dari tanah milik negara. Kedua, sebagai cadangan melalui pengelolaan penyimpanan cadangan pangan untuk pertahanan negara. Kemudian yang ketiga, melakukan distribusi cadangan pangan keseluruh Indonesia.

Di sisi lain, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies, Khairul Fahmi, mengingatkan, Kemhan dan TNI untuk lebih dulu mengkaji dengan cermat terkait keterlibatannya pada kegiatan yang tidak secara langsung berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya. Keduanya harus berhati-hati dalam melaksanakan operasi militer selain perang (OMSP) seperti dalam urusan ketahanan pangan itu.

"Ini berpotensi mengulang masa Orde Baru di mana kita mengklaim berhasil membangun ketahanan dan swasembada, namun dengan tekanan luar biasa pada petani untuk tanam padi, dengan tentara ikut turun ke sawah," ujar dia melalui pesan singkat.

Dia mengaku, heran dengan kesalahkaprahan yang seakan dibiarkan berlangsung. Salah satunya, yakni pemahaman bahwa keseluruhan urusan ketahanan nasional adalah ranah pertahanan. Padahal, Kemhan dan TNI hanyalah salah satu kontributor ketahaan nasional dari sisi pertahanan negara.

"Soal kontribusi ketahanan pangan terhadap ketahanan nasional ya domainnya Kementerian Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, PUPERA, BKP, Bulog dan tentu institusi penegak hukum sebagai instrumen pengawasan," kata Fahmi.

Fahmi mengatakan, "multifungsi" TNI tersebut juga patut untuk dipertanyakan, terutama terkait dengan pendekatan Minimum Essential Forces (MEF) dalam pengembangan kekuatan dan kemampuan TNI. Dia menjelaskan, MEF mencakup tiga hal utama, yakni organisasi, personel, dan materiil berupa alat utama, sarana, dan prasarana.

"Dari sisi personel, jelas bahwa jumlah prajurit kita masih jauh dari rasio perbandingan ideal dengan jumlah penduduk dan luas wilayah," ungkap Fahmi.

Dia pun mempertanyakan mengapa TNI harus "cawe-cawe" kepada urusan pemerintahan yang lain jika untuk fokus pada tugas pokoknya saja TNI masih belum ideal. Selain itu, dia juga mempertanyakan, motif dari keterlibatan TNI pada program tersebut.

"Apa motifnya? Kesejahteraan? Politik? Kalau iya, tentu saja itu menyimpang dari mandat reformasi," kata dia.

Fahmi berharap, jangan sampai kebutuhan kemampuan TNI dalam tugas-tugas nonmiliter menjadi modus baru untuk melakukan hegemoni kekuasaan. Menurutnya, hal itu bukan hanya perlu diingatkan kepada Kemhan dan TNI saja, tetapi juga Polri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement