REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur Suban Wahyudiono mengatakan, berdasarkan analisa Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), kemarau melanda Jatim mulai April 2020. Pada periode awal itu, baru sebagian kecil daerah yang mengalami dampaknya. Kemudian, kata dia, pada Juli 2020, kemarau telah merata di seluruh daerah di Jatim.
"Sementara itu untuk puncak kemarau diperkirakan terjadi pada Agustus mendatang. Bencana yang harus diwaspadai adalah kebakaran dan kekeringan," ujar Suban di Surabaya, Jumat (10/7).
Suban mengaku, pihaknya telah menyiapkan strategi-setrategi menghadapi kemarau tersebut, utamanya mengantisipasi kekeringan dan kebakaran. Langkah jangka pendek adalah dengan membuat tandon-tandon air, dan droping air bersih ke daerah-daerah terdampak.
"Sedangkan jangka menengahnya yang bisa dilakukan yakni dengan membuat waduk dan membuat sumur bor," ujar Suban.
Suban menyatakan, pihaknya telah menggelar rapat koordinasi dengan jajaran BPBD di tingkat kabupaten/ kota. Rapat koordinasi tersebut dimaksudkan untuk meminta BPBD di tingkat kabupaten/ kota melakukan pemetaan titik-titik yang berpotensi mengalami kekeringan.
Suban menjelaskan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menyatakan, pemerintah kabupaten/ kota bertanggung jawab dalam penanganan bencana di daerahnya. Dalam hal ini, kata dia, pemerintah provinsi hanya memberi bantuan yang sifatnya pendampingan.
Suban menjelaskan, berdasarkan data 2019, di Jatim ada 31 kabupaten/ kota, 236 kecamatan, 798 desa dan kelurahan yang mengalami kekeringan. Total droping air bersih saat itu sebanyak 186.750.000 liter. Sementara saat ini, kata dia, belum ada daerah yang mengalami kekeringan.