Jumat 10 Jul 2020 04:31 WIB
Jakarta

Derita Rakyat Jakarta di Awal Merdeka dalam Arsip Belanda

Kemiskinan dan derita hidup pemandangan sehari-hari rakyat Jakarta.

Suasana Jakarta pada zaman Jepang.
Foto:

Sejak pecahnya pertikaian antara tentara Inggris dengan para pemuda,  bangsa Indonesia masih malu bekerja pada Nica, karena ini dianggapnya melanggar keamanan pemerintah. Tetapi waktu mereka terdesak oleh kehidupan dan lari ke pihak sana, tempat-tempat penting sudah dipegang oleh [Belanda] totok atau Indo, dan orang-orang baru ini cuma boleh menjabat pangkat yang remeh-temeh saja.

Chinese geldwisselaars onder parasolletjes op straat voor een Chinees restaurant in Batavia/Djakarta, West-Java Indonesië augustus 1947.

  • Keterangan foto Jakarta: Suasana Jakarta tahun 1947.

Seorang kopral marine Belanda berkata kepada saya: “Walaupun saya mengetahui banyak tentang berbagai mesin, tetapi dalam menjalankan pekerjaan dinas marine, saya hanya mau jadi sopir saja. Sebaliknya, sekiranya saya mendapat kesempatan menyumbangkan tenaga pada Republik, saya bersedia mencurahkan segala kepandaian saya.” ………….

Harga barang makanan mahal bila dibandingkan dengan harga di Makassar. Dengan sepintas lalu orang bisa mengetahui sebabnya ialah karena perbandingan antara barang dan uang tidak cocok. Uang terlalu berlebih-lebihan di Jakarta. Lebih kurang sepuluh milyun uang Nica. Bahan makanan cukup banyak di Jakarta. Saban hari terlihat iring-iringan kerbau yang didatangkan dari daerah pedalaman secara penyelundupan. Mungkin kerbau ini {9} diangkut dengan perahu dan diturunkan di pesisir sebelah timur laut Jakarta. Inilah pula sebabnya mengapa daging murni (bukan blik-blikan) tetap banyak di Jakarta.

Kalau kita berjalan-jalan di jalan-jalan besar, akan kita lihat barisan-barisan penduduk di depan toko distribusi Belanda. Di sekitar barisan ini sudah siap beberapa tengkulak menadah barang-barang yang baru turun dari toko itu. Tengkulak-tengkulak ini membeli dengan harga dua kalinya, dan diserahkan kepada toko-toko dengan harga tiga kalinya. Toko atau warung menjual kepada pembeli dengan harga empat kalinya.

Tetapi pada waktu yang akhir-akhir ini terdengar kabar desas-desus bahwa distribusi dari pihak Nica akan dikurangi, berhubung dengan merosotnya deviezen. Sebaliknya, perlahan-lahan tetapi nyata Republik mulai melancarkan pembagian [distribusi barang-barang] untuk rakyatnya. Caranya membagi diperbaiki, [se]hingga mengurangi kesempatan melakukan kecurangan seperti semasa jaman Jepang. Sikap yang demikian patut dipuji, apalagi kalau kita ingat bahwa pada masa ini yang penting bukan besarnya gaji pegawai, tetapi baiknya pembagian barang-barang yang dibutuhkan dalam [kehidupan] sehari-harinya.

Penyakit “sogokan” sebagai akibat dari kekalutan keadaan keluarga merajalela di mana-mana, baik di kalangan Republik maupun Belanda. Karena ini pula, tak begitu menyakitkan hati kalau dikatakan bahwa pemerintahan Jakarta ini impoten. Bukan saja karena Republik tak mempunyai tentara dan polisi, tetapi juga terutama ialah [karena] sukarnya penghidupan perseorangan. Pihak Belanda, seperti dulu, hanya bertindak berat sebelah dan cuma aktif dalam melakukan penangkapan-penangkapan belaka.

Kemudian, kalau kita naik trem kota, pasti akan kita lihat penumpang yang pura-pura tak melihat tukang karcis, atau sebaliknya, tukang karcis pura-pura tak tahu kalau ia sudah menerima uang pembeli karcis dan tidak menyerahkan karcis itu pada penumpang. Yang lebih buruk lagi, pernah saya melihat tukang karcis menerima uang Nica dan dengan sendirinya melanggar prinsip keuangan DKRI.

Vrouw met kind naar Djakarta (Batavia) gevlucht vanwege de eerste politionele actie op Java, Indonesië, augustus 1947.

  • Keterangan Foto: Rakyat jelata di jalanan Jakarta 1947.

Soal pembangunan di Jakarta masih merupakan pertanyaan besar. Mungkinkah ini dijalankan? Memang ini mulai dijalankan, tetapi [kita] akan bergeleng-geleng kepala kita kalau melihat tak sedikit jam-jam umum yang tak cocok dengan waktunya. Ada yang kecepatan hingga 1 jam, setengah jam atau mati sama sekali. Malah pada salah sebuah stasiun trem kota, yang seharusnya menyediakan jam yang boleh dipercaya malah membohongi umum, karena telat tiga perempat jam. Barang-barang kecil itu pun patut diperhatikan.

Soal ketenteraan susah disebutkan. Di kalangan Belanda sendiri sebagian tak menyukai pemakaian kekerasan. Malah ada salah seorang serdadu Belanda yang baru datang dari Surabaya berkata bahwa kekejaman Belanda di Indonesia ini adalah sebagai alamat keruntuhannya. Ramalan ini, katanya selanjutnya, sudah berulang-ulang dibuktikan dalam sejarah kemanusiaan. Di Surabaya misalnya, setengah batalion TRI [Tentara Republik Indonesia] yang tertangkap dipakai oleh Belanda sebagai sasaran latihan menembak. Hanya seorang saja yang dibiarkan hidup, hanyalah karena ia bekas warga Marine Hindia Belanda. Ini bukan contoh peri kemanusiaan yang baik. Sebaliknya, merupakan bahan peledak yang akan memperhebat rasa permusuhan.

Peristiwa pengecilan tentara Indonesia menimbulkan berbagai-bagai akibat di Jakarta. “Ontevreden” [rasa tidak puas] yang merasa tak dihargai jasanya, lebih-lebih karena tempat tinggalnya di Jakarta, oleh desakan kehidupan dan kebimbangan pendirian sebagian masuk barisan inlander Nica. Tuan tak perlu heran kalau saya berkata bahwa ada seorang mayor TRI sekarang menggabungkan diri di  batalion XI. Ini kejadian [yang] sangat memalukan bagi bangsa Indonesa seluruhnya. Dan peristiwa seperti itu ditambah lagi dengan insiden Krawang.

Namun keadaan-keadaan yang buruk itu tak akan mengecilkan hati, sebab Indonesia kaya raya, dalam hal bahan gubal dan tenaga orang. Inilah yang menguntungkan Republik pada waktu ini. Seandainya beberapa ribu rakyatnya lari berpihak ke Belanda, tak perlu Republik kuatir akan terkatung-katung dalam perjuangannya seperti halnya dengan Vietnam. Kekayaan Indonesia mendorong dunia internasional membantu Republik. Ini tak bisa disangsikan lagi.

Jakarta waktu ini merupakan pusat kekuatan seluruh angkatan perang Belanda yang ada di Indonesia. Dari sini ia akan mengembangkan sayap ke daerah-daerah onderneming yang terkaya di seluruh Indonesia, sebab cuma penghasilan onderneming sajalah yang bisa menolong Belanda dari hutangnya, dari keruntuhannya. Di Priangan terpendam kekayaan alam: kina, karet, teh, dan bahan makanan.

Dari Jakarta Belanda membagi-bagikan dan mengumpulkan tentaranya. Jakarta [adalah] jantung penyerangan Belanda. Mungkinkah Indonesia–Belanda mencapai kerjasama dengan jalan damai? Atau pertumpahan darah? Bila pertempuran terpaksa [dilakukan], terpaksa terjadi juga, Jakartalah tempat di mana Belanda akan tercampak ke Laut Jawa….

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement