Rabu 08 Jul 2020 06:45 WIB

Bagaimana Al-Ghazali Memandang Hubungan Sains dan Agama?

Penulis Ihya' Ulumuddin kerap dituduh sebagian orang sebagai ‘pembunuh’ filsafat.

Sampul depan Kitab Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali.
Foto: Wikipedia.org
Sampul depan Kitab Tahafut al-Falasifah karya Imam al-Ghazali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemikir Islam, Ulil Abshar Abdalla, mengatakan, Al-Ghazali dalam memandang sains memiliki keunikan. Selama ini, penulis kitab Ihya Ulumuddin itu justru dituduh sebagian orang sebagai ‘pembunuh’ filasafat. Namun, kenyataannya tidak demikian. 

“Orang yang berpendapat begitu, pasti tidak pernah sungguh-sungguh membaca karya-karya Al-Ghazali,” ujar Ulil dalam diskusi bertajuk ‘Agama dan Sains’ yang disiarkan melalui akun Youtube Technoe Institute.

Al-Ghazali membagi sains menjadi enam bagian. Pertama, riyadiyyat atau ilmu matematika. Kedua, manthiqiyyat atau ilmu logika. Ketiga, thobi’iyyat yaitu ilmu fisika. Kata Alghazali, ketiganya ini tidak ada urusan dengan agama. Semua itu diterima dalam Islam. Karena itu netral isinya.

Keempat, lanjut Ulil, adalah akhlaqiyat atau filsafat moral tentang aturan baik buruk. Kelima siyasiyyat, yakni tentang ilmu politik atau bernegara. Al-Ghazali menilai, baik akhlaqiyat maupun siyasiyyat keduanya tidak ada masalah dalam garis besar. 

Yang menjadi masalah, kata Ulil, adalah ilmu filsafat yang spesifik terkait poin keenam, yaitu ilahiyyat atau kaitannya dengan aqidah. “Terkait pandangan orang Yunani mengenai masalah ketuhanan, itu yang bermasalah dari sudut aqidah Islam,” kata Ulil.

 

Salah kaprah istilah filsafat

Ulil mengatakan, ada dua tradisi besar sains dalam sejarah dunia. Pertama, adalah Aristotelian. Kedua Demokritos. Aristotelian inilah yang dikembangkan dan diwarisi sains Muslim.

Menurut Ulil, istilah filsafat dalam sejarah Islam bukan seperti filsafat masa sekarang. Kini, filsafat merupakan satu disiplin keilmuan yang dipelajari di fakultas filsafat. “Dulu bukan seperti itu,” ujar dia.

Pada zaman Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Khindi, Al-Ghazali, Ibn Rusyd sampai era sesudahnya, kata Ulil, yang disebut filsafat adalah ilmu yang mencakup berbagai cabang keilmuan. Di dalamnya ada matematika, fisika, biologi, termasuk ada ilmu teologi. 

Tetapi teologi yang dimaksud di sini bukan didasarkan kepada wahyu. Namun, pemikiran ketuhanan yang berdasar observasi naturalistik, berdasarkan observasi terhadap fenomena-fenomena alam. “Maka mereka berkesimpulan ada Tuhan di balik alam raya ini,” ujar dia.

Ulil melanjutkan, dalam filsafat ada juga ilmu filsafat politik dan filsafat moral. Jadi, yang disebut filsafat pada masa klasik dulu berarti sains di masa saat ini. Istilah falsafah, kata dia, tidak bisa dipahami dalam pengertian sekarang. Karena zaman klasik, disiplin ilmu belum mengalami spesialisasi yang rumit seperti sekarang.

“Jadi falsafah dalam tradisi Islam di dalamnya itu ada sains. Ada fisika, ada biologi, ada kimia, ada astronomi. Tetapi juga ada matematika ada logika. Jadi kalau disebut filosof, itu juga sekaligus saintis,” ujar Ulil.

Pada masa klasik, kata Ulil, ada dua jenis ilmu. Pertama adalah ilmu kewahyuan. Kedua, ilmu-ilmu yang basis sumbernya bukan wahyu tetapi observasi ataupun penalaran rasional. Di zaman Al-Ghazali, disiplin ilmu itu terangkum ‘gelondongan’ yang disebut filsafat itu. 

Maka semua pengetahuan yang sumbernya bukan kitap suci adalah falsafah. Sementara semua pengetahuan yang bersumber kepada wahyu disebut dengan ilmu agama. Dalam bahasa Al-Ghazali, kata Ulil, disebut al-ulumul syar’iyyah.

Orang Yunani yang dimaksud Ulil yakni Aristoteles. Tradisi sains Aristoteles inilah yang diikuti banyak filosof Muslim di era berikutnya. Sebab, Aristoteles mempercayai di balik alam raya ada Sang Penggerak atau Al-Muharrik

Dalam filsafatnya, kata Ulil, Aristoteles menyatakan bahwa alam itu qodim, sama dengan Tuhan. Artinya, bagi Aristoteles, alam tidak ada permulaan. Alam dari dulu ada, dan sampai kapanpun ada. Dan Al-Ghazali, kata Ulil, menolak ini. Al-Ghazali berpandangan bahwa pendapat tersebut bukan sains, tapi ‘aqidah’ Aristoteles.

Di sisi lain, lanjut Ulil, tradisi sains Demokritos tidak mempercayai Tuhan. ‘Ideologinya’ persis dengan sebagian saintis modern di dunia barat saat ini, yang oleh para filosof muslim disebut thabi’iyyun atau orang-orang yang pandangannya materialistik. 

Ulil menambahkan, ketika Kristen mewarisi filsafat Yunani melalui para filosof Muslim belakangan, mereka juga sama. Mereka sangat berpihak kepada tradisi sains Aristoteles. Baru setelah abad ke-16 sampai 17, ketika sains modern muncul, sains ala demokritos muncul ke permukaan.

“Selama ratusan tahun sejak era Islam sampai era modernitas dalam sejarah Eropa, ilmu yang berkembang sebenarnya ilmunya Aristoteles. Salah satu ciri sains Aristoteles adalah segala hal, ada tujuan di baliknya. Karena itu cocok dengan visi orang beragama,” ujar Ulil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement