Rabu 08 Jul 2020 06:15 WIB

Ulil Abshar: Membenturkan Agama dan Sains Khas Sejarah Barat

Hanya di dunia ‘barat’ saja masalah hubungan agama dan sains itu muncul.

Ulil Abshar Abdalla.
Foto: Facebook
Ulil Abshar Abdalla.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Diskursus relasi agama dan sains masih menjadi ‘arena’ bagi para pemikir dari berbagai belahan dunia. Hasilnya, ‘tema klasik’ ini memunculkan ragam narasi. Tak sedikit yang berkembang, justru seolah membelahnya secara diametral. Bahkan, dalam beberapa kasus sampai saling menegasikan.

Hubungan agama dan sains memang terus mengalami pasang surut. Lantas, apakah keduanya perlu dipertentangkan atau memang bertentangan? 

Pemikir Islam, Ulil Abshar Abdalla, mengatakan, ada latar belakang sejarah yang tidak bisa diabaikan, yang pada akhirnya melahirkan perdebatan tentang hubungan agama dengan sains. “Sebetulnya agak unik, sains dan agama dibentrokkan. Itu sebetulnya khas sejarah barat,” kata dia dalam diskusi daring bertajuk ‘Sains dan Agama’ melalui akun Youtube Technoe Institute.

Menurut Ulil, tarik menarik agama dan sains tidak begitu kuat di luar negara-negara di Eropa Barat. Tak sedikit negara yang ilmu pengetahuannya maju, justru tidak pernah ada masalah atau bahkan mempertentangkan hubungan keduanya. Islam pun sebenarnya tidak ada. Hanya di dunia ‘barat’ saja masalah hubungan agama dan sains itu muncul.

Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) ini menjelaskan, sejarah munculnya pertentangan agama dan sains terjadi ketika orang-orang di Eropa Barat memiliki trauma kepada agama. Salah satu sebabnya, dulu ketika gereja berkongsi dengan negara atau penguasa, para tokohnya mempraktikkan agama yang bengis terhadap sains.

Praktik ini, lanjut Ulil, akhirnya membuat para saintis dendam kepada gereja. Maka ketika Charles Darwin menemukan teori evolusi, para saintis menyambut gembira. “Karena mereka kemudian mengatakan, ini sekarang kita punya teori baru untuk menjelaskan variasi kehidupan yang tidak berdasarkan ketuhanan ala gereja,” ujar dia.

“Sementara kita sebagai umat Islam sebetulnya nggak ada masalah, karena kita tidak mewarisi trauma. Orang-orang ‘barat’ lah yang mewarisi trauma agama,” kata Ulil menambahkan.

Masalahnya, kata dia, ‘barat’ sekarang sangat dominan dalam segala bidang, mulai dari peradaban ilmu, terutama dalam peradaban sains. Karena itu, pandangan barat yang melihat agama dan sains sebuah konflik, ini bisa mempengaruhi banyak orang. Karena itu, menurut Ulil, ketika umat Islam belajar sains, sebaiknya mendengarkan saran Al-Ghazali.

Dalam diskusi yang sama, Kepala Pusat Kecerdasan Artifisial dan Teknologi Kesehatan ITS Surabaya, Agus Zainal Arifin, mengatakan, diakui atau tidak, konflik antara sains dan agama memang terjadi. Agama di sini bukan hanya Islam, tapi semua yang mempercayai adanya Tuhan.

Menurut Agus, sebagai orang Islam yang beriman, jika sudah meyakini bahwa kitab suci Alquran benar, maka tidak perlu seorang Muslim mencari pembenaran.

“Apalagi itu dengan pseudosains, sesuatu yang sepertinya benar untuk mendukung Alquran. Dan kita tidak boleh insecure terhadap Alquran,” ujar dia.

Mantan dekan Fakultas Teknologi Informasi dan Komunikasi ITS ini menyatakan, orang yang ingin meraih kebahagiaan duniawi harus menggunakan ilmu, kebahagiaan akhirat pun harus pula dengan ilmu. “Hakikatnya sains dan teknologi adalah ilmunya Allah. Tidak perlu dipertentangkan,” ujar Agus.

Direktur Eksekutif Technoe Institute Ardy Maulidy Navastara mengatakan, diskusi ini sebagai forum edukasi kepada masyarakat bahwa agama dan sains memang bukan dua hal yang bertentangan dan tidak untuk dipertentangkan. Bahkan ketika Islam mencapai puncak kejayaan dalam bidang sains, tokoh-tokohnya adalah seorang Muslim yang sangat taat.

“Lalu untuk apa dihadap-hadapkan jika keduanya sejatinya adalah milik Allah,” ujar Ardy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement