Selasa 07 Jul 2020 21:28 WIB

Parliamentary Threshold Harus Dibahas Bersama Sistem Pemilu

Parliamentary threshold, sistem pemilu, dan alokasi kursi tak bisa dibahas terpisah.

Anggota Komisi II dari Fraksi PKB DPR, Yanuar Prihatin.
Foto: Dok pribadi
Anggota Komisi II dari Fraksi PKB DPR, Yanuar Prihatin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Fraksi PKB DPR RI Yanuar Prihatin menilai besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold) harus dibicarakan satu tarikan napas dengan format sistem pemilu yang akan digunakan. Format ini terkait proporsional terbuka atau tertutup dan besaran kursi yang diperoleh partai politik di daerah pemilihan (district magnitude).

"Parliamentary threshold (PT) harus dibicarakan dalam satu tarikan napas sistem pemilu apakah proporsional terbuka atau tertutup dan district magnitude," kata anggota Komisi II DPR RI Yanuar dalam diskusi Forum Legislasi bertajuk "Ke Mana Arah RUU Pemilu?" di kompleks DPR RI, Jakarta, Selasa (7/7).

Baca Juga

Ia mengatakan fraksinya mengusulkan besaran PT 4—5 persen. Namun, itu harus dibicarakan bersamaan dengan pembahasan sistem pemilu dan alokasi kursi per dapil.

Menurut dia, ketiga poin itu tidak bisa dibicarakan secara terpisah-pisah karena akan menentukan arah mana RUU Pemilu. Misalnya apakah akan memperkuat sistem presidensial atau parlementer.

"Selain itu, membangun sistem eksekutif atau legislatif untuk lebih kuat. Misalnya, ambang batas parlemen 4—5 persen maka parpol yang tidak memenuhi itu akan tersingkir," ujarnya.

Politikus PKB itu menilai penentuan besaran PT apakah bisa menjawab berbagai paradoks dalam pelaksanaan pemilu sebelumnya karena berkaitan erat dengan konversi suara ke kursi di parlemen. Dalam diskusi tersebut, Yanuar menyebutkan ada beberapa paradoks dalam pelaksanaan pemilu yang diharapkan ke depannya tidak terjadi.

Paradoks pertama, kata dia, yang berhak mencalonkan presiden di Pilpres 2024 adalah partai politik hasil Pemilu 2019, sementara memilih presiden adalah memilih yang akan datang. "Jadi, kalau berbicara ambang batas pencalonan presiden, itu basisnya adalah pemilu-pemilu sebelumnya. Ini logis atau tidak karena pemerintahan yang akan terjadi dengan presiden yang baru adalah hasil pemilu terbaru, bukan hasil sebelumnya," katanya menjelaskan.

Hal itu, menurut dia, berimplikasi pada desain keserentakan pemilu seperti apa yang akan digunakan. Paradoks kedua, terkait keterwakilan penduduk dan wilayah, satu wilayah dengan luas yang kecil namun memiliki jumlah penduduk yang besar, atau sebaliknya sehingga harus dipikirkan bagaimana mengaturnya.

Yanuar mencontohkan Jakarta dengan jumlah penduduk yang banyak namun luas wilayahnya tidak terlalu luas. Lalu, calon anggota legislatif di daerah tersebut tidak terlalu kesulitan melakukan mobilitas untuk kampanye dan menyapa para pemilihnya.

"Bandingkan dengan caleg di Papua, satu dapil bisa berapa kabupaten dengan wilayah yang luas. Bagaimana cara mengatur situasi yang semacam ini, berbagai paradoks itu diselesaikan supaya bisa menemukan titik tengah di mana keterwakilan menjadi lebih komprehensif," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement