Senin 06 Jul 2020 01:52 WIB

Perludem Soroti Tiga Isu Krusial Keadilan Pemilu di RUU

Waktu yang terlalu singkat, dapat berdampak pada kualitas persidangan.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Muhammad Fakhruddin
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/3).
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/3).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyoroti tiga isu krusial terkait electoral justice atau keadilan pemilu yang perlu diperhatikan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). UU Pemilu seharusnya mengatur penyelesaian pelanggaran-pelanggaran pemilu secara komprehensif.

"Berkaitan dengan elektoral justice system atau keadilan pemilu, terdapat tiga isu krusial yang perlu dipikirkan dalam revisi undang-undang pemilu," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini kepada Republika.co.id, Ahad (5/7).

Pertama, penyelesaian perselisihan di Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Titi, perlunya hukum acara perselisihan hasil pemilu di MK karena berkaca pada pengalaman penyelesaian perselisihan hasil pemilu presiden (pilpres) pada Pemilu 2019 lalu.

Ia menceritakan, pada saat itu terjadi perdebatan antara pemohon, termohon, dan pihak terkait tentang permohonan mana yang akan dperiksa di persidangan. Sebab, permohonan yang dibacakan di sidang pertama, berbeda dengan apa yang didaftarkan.

Titi melanjutkan, termasuk juga soal jumlah saksi maupun ahli yang dapat dihadirkan di persidangan. Tak hanya itu, dalam pemilihan legislatif (pileg) kemarin juga ada persoalan, beberapa permohonan tidak diberlakukan konsisten, tidak diputus di dalam dismissal proses, tetapi tidak pula dipanggil di dalam sidang pembuktian.

Namun hanya diputus di putusan akhir dan ditolak. Menurut Titi, hal itu tidak sesuai dengan prinsip dua process of law, di mana para pihak mesti diberikan kesempatan yang sama dan adil di dalam proses persidangan.

Selain itu, perlu dipikirkan lagi waktu penanganan perselisihan hasil pemilu. Titi mengatakan, waktu yang terlalu singkat, dapat berdampak pada kualitas persidangan dan upaya untuk membuktikan dalil.

Kemudian, perlu dipikirkan kembali waktu pendaftaran permohonan, agar tidak hanya 3x24 jam. Menurut dia, hal ini penting untuk memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang hendak mengajukan permohonan, mengingat akses dan keterbatasan fasilitas berbeda-beda di setiap daerah.

Kedua, penyelesaian sengketa nonhasil pemilu yang dimulai dari penataan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga penyelenggara pemilu ini semakin dominan tren penguatan fungsi ajudikasinya.

Titi melanjutkan, jika ini hendak diteruskan, penting untuk menata kewenangan Bawaslu. Salah satunya kewenangan pengawasan yang tidak bisa lagi dilekatkan di lembaga penyelesai sengketa.

Lalu, menurut Titi, perlunya perbaikan syarat bagi calon anggota Bawaslu. Sebab, mereka akan menjadi hakim di dalam penyelesaian sengketa yang semestinya punya kualifikasi untuk itu.

Berikutnya, perlu penataan kelembagaan Bawaslu, khususnya support system untuk melaksanakan fungsi penyelesaian sengeta. Sumber daya manusia di Bawaslu, termasuk sistem penyelesaian sengketa dan manajemen penyelesaian sengketa mesti di bangun dan sebisa mungkin diatur di undang-undang.

Perludem mengusulkan, salah satu yang bisa menjelaskan fungsi penyelesaian sengketa Bawaslu adalah semua sengketa diajukan ke Bawaslu Provinsi, sesuai dengan wilayah hukumnya. Lalu Bawaslu RI untuk upaya hukum.

Pengecualian bisa dilakukan di untuk pileg nasional dan pilpres. Sehingga sengketa berlangsung di Bawaslu RI, sementara upaya hukumnya langsung ke Mahkamah Agung.

Ketiga, lanjut Titi, mengurangi sanksi pidana pemilu. Untuk efektivitas penanganan pelanggaran pemilu, pidana pemilu perlu dikurangi.

Sanksi pidana pemilu ke penyelenggara ad hoc bisa dikurangi, sementara sanksi admininstrasi yang perlu di dorong. Hal ini diharapkan bisa memberikan efek jera dan daya cegah kepada orang yang berpotensi menjadi pelaku pelanggaran pemilu.

Untuk penanganan pelanggaran pemilu, agar prosesnya efektif dan cepat, serta pertanggungjawabannya lebih jelas, pelaporannya bisa langsung ke kepolisian. Sehingga sentra gakkumdu tidak diperlukan lagi.

"Mekanisme penanganan pelanggaran administrasi di Bawaslu perlu diperjelas dan sistemnya perlu dibangun. Tingkat pertama di Bawaslu Provinsi dan bandingnya ke Bawaslu RI," kata Titi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement