Sabtu 04 Jul 2020 16:42 WIB

Ini Maslahat dan Mudharat RUU Cipta Kerja Menurut MUI

Pandangan dan sikap terhadap RUU Cipta Kerja ini sebagai bentuk tangung jawab MUI.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agus Yulianto
Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi (kiri) didampingi pimpinan MUI saat memimpin pertemuan.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi (kiri) didampingi pimpinan MUI saat memimpin pertemuan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai salah satu komponen bangsa memberikan perhatian penuh terhadap agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang bersifat Omnibus Law di DPR saat ini. Hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab MUI dalam melaksanakan perannya sebagai shadiqul hukumah, himayatul ummah, dan khodimul ummah.

Shadiqul hukumah adalah mitra pemerintah dalam hal ajaran Islam menyampaikan fatwa atau tausiyah kepada pemerintah. Himayatul ummah adalah melindungi umat Islam dari praktik-praktik yang dilarang Islam, termasuk melindungi umat Islam dari produk dan konsumsi yang tidak jelas kehalalannya. Khodimul ummah adalah mengabdi untuk kepentingan umat.

Untuk itu, MUI mengeluarkan pandangan dan sikap terhadap RUU Cipta Kerja dalam edaran bernomor Kep-1332/DP-MUI/VII/2020 yang ditanda tangani Wakil Ketua Umum MUI, KH Muhyiddin Junaidi dan Sekertaris Jenderal MUI, Buya Anwar Abbas pada 3 Juli 2020.

"Sebagai bagian dari pelaksanaan tiga peran MUI di atas yang dikaitkan dengan pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR saat ini. Maka DP MUI Pusat sebagai bentuk implementasi prinsip saling mengingatkan (at-tawashi bi al-haq) dan menyeru pada kebaikan serta mencegah dari kemungkaran (al-amru bi al-maruf wa an-nahyu an al-munkar) dengan bertawakkal kepada Allah SWT memandang perlu menyampaikan pandangan dan sikap terhadap RUU Cipta Kerja," kata KH Muhyiddin melalui pesan tertulis kepada Republika, Sabtu (4/7).

MUI menyampaikan beberapa maslahat dan mudharat dari RUU Cipta Kerja berdasarkan arah pembentukan RUU Cipta Kerja.

Berikut beberapa maslahat RUU Cipta Kerja 

1. Fleksibilitas dan efisiensi birokrasi pemerintah pusat dalam menyelesaikan permasalahan dan penyesuaian keadaan dan tantangan yang dihadapi.

2. Meningkatkan potensi penyerapan tenaga kerja dan penciptaan lapangan kerja baru.

3. Penyederhanaan kewenangan menteri yang atributif menurut UU yang terdampak oleh RUU Cipta Kerja yang akan berakibat menurunnya jumlah peraturan menteri yang saat ini dipersoalkan sebagai sumber kelebihan regulasi.

4. Pemangkasan izin yang masif dalam RUU Cipta Kerja membawa perubahan semakin mudah dan murahnya dalam berinvestasi di sektor yang terdampak sebelum hadirnya RUU Cipta Kerja.

5. Memberikan kepastian hukum khususnya dalam proses pengurusan perizinan berusaha, dibandingkan dengan konsep yang dianut UU yang terdampak sebelumnya.

6. Kepastian hukum perlindungan hak masyarakat adat atas tanah ulayat.

7. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam sektor-sektor usaha yang ditentukan. 

Berikut Beberapa Mudharat RUU Cipta Kerja

1. Penarikan kewenangan mengatur menjadi harus berdasarkan delegasi Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) akan justru berpotensi mendapat penolakan atau resistensi dikarenakan mengurangi fleksibilitas daerah dalam berinovasi.

2. Potensi penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikarenakan pemangkasan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan kewenangan yang seharusnya diotonomikan.

3. Beban yang berlebihan pada Peraturan Pemerintah (PP) dalam mengatur teknis operasional RUU Cipta Kerja.

4. Terdapat beberapa norma yang berpotensi diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) dikarenakan oleh perubahan paradigma yang secara diametral bertentangan dengan konstitusi.

5. Tidak semua tindakan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan perizinan harus menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan tetap saja menjadi kewenangan menteri, mengingat jabatan menteri adalah pejabat eksekutif tertinggi di bidangnya.

Berikut Arah Kebijakan Pembentukan RUU Cipta Kerja

1. Perubahan delegasi kewenangan dari yang sebelumnya kepada menteri dan pemerintah daerah, menjadi kewenangan pemerintah pusat dengan konsekuensi mengubah kewenangan delegasi mengatur yang sebelumnya berbentuk peraturan menteri (Permen), peraturan daerah (Perda) menjadi peraturan pemerintah (PP).

2. Menghapus beberapa izin yang berlapis dan rekomendasi menjadi perizinan berusaha serta penyediaan alternatif sebagai syarat berusaha.

3. Menghapus norma yang pelaksananya adalah menteri.

4. Membuka kesempatan pelibatan tenaga kerja asing (TKA).

5. Melibatkan pihak ketiga dalam beberapa sistem pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh kementerian dan pemerintah daerah.

 

6. Perubahan paradigma dan orientasi usaha menjadi lebih terbuka pada investasi.

7. Penyeragaman bentuk perizinan dan penerapan perizinan berbasis risiko.

8. Penegasan fungsi pemerintah pusat dalam penerbitan perizinan, sertifikat dan surat persetujuan.

9. Penghilangan kewenangan DPR di beberapa bidang yang sebelumnya berfungsi sebagai persetujuan berubah menjadi konsultasi

10. Penyelarasan penjelasan UU yang menyesuaikan konsep perizinan berbasis risiko.

 

11. Penyederhanaan secara ekstrim administrasi pemerintahan yang berakibat pada sistem perizinan yang tidak memberikan kepastian hukum.

12. Sebelumnya sanksi pidana menjadi sanksi administrasi (dekriminalisasi).

13. Pasal 170 RUU Cipta Kerja berpotensi melampaui kewenangan dan bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement