Jumat 03 Jul 2020 17:15 WIB

Ini Pernyataan Bersama Ormas Keagamaan Tolak RUU HIP

Ormas keagamaan hari ini membacakan pernyataan bersama terkait RUU HIP.

Rep: Fuji E Permana, Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Ormas-ormas keagamaan PP Muhammadiyah, PBNU, PGI, KWI, PHDI, Permabudhi, dan Matakin menyampaikan pernyataan bersama menanggapi RUU HIP di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (3/7).
Foto: Republika/Fuji E Permana
Ormas-ormas keagamaan PP Muhammadiyah, PBNU, PGI, KWI, PHDI, Permabudhi, dan Matakin menyampaikan pernyataan bersama menanggapi RUU HIP di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ormas keagamaan di Indonesia hari ini membuat pernyataan berrsama terkait Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang saat ini tengah dibahas DPR. Ormas itu terdiri dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Komisi HAK Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).

Pernyataan pertama, Pancasila adalah dasar negara dan sumber segala sumber hukum negara Republik Indonesia. Secara konstitusional kedudukan dan fungsi Pancasila sudah sangat kuat, sehingga tidak memerlukan aturan lain yang berpotensi mereduksi dan memperlemah Pancasila.

Baca Juga

"Kedua, bahwa rumusan Pancasila sebagai dasar negara adalah sebagaimana termaktub dalam alinea keempat  Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945," kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu'ti membacakan pernyataan bersama tersebu,  saat konferensi pers menyampaikan pernyataan bersama di Auditorium KH Ahmad Dahlan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (3/7).

Ia menyampaikan, rumusan-rumusan lain yang disampaikan oleh individu atau dokumen lain yang berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 adalah bagian dari sejarah bangsa yang tidak seharusnya diperdebatkan lagi pada masa kini. Karena, berpotensi menghidupkan kembali perdebatan ideologis yang kontra produktif.

Menurut Mu'ti, yang lebih diperlukan bangsa saat ini adalah internalisasi dan pengamalan Pancasila dalam diri dan kepribadian bangsa Indonesia. Serta implementasi Pancasila dalam perundang-undangan, kebijakan, dan penyelenggaraan negara.

"Ketiga, bahwa pemerintah menyatakan menunda pembahasan RUU HIP oleh karena itu DPR hendaknya menunjukkan sikap dan karakter negarawan dengan lebih memahami arus aspirasi masyarakat dan lebih mementingkan bangsa dan negara di atas kepentingan partai politik dan golongan," ujarnya.

Mu'ti melanjutkan pernyataan yang keempat, saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi wabah pandemi Covid-19 serta berbagai dampak yang ditimbulkan terutama sosial dan ekonomi. Karena itu, semua pihak hendaknya saling memperkuat persatuan dan bekerja sama untuk mengatasi wabah pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya serta menjaga situasi kehidupan bangsa yang kondusif, aman, dan damai.

Penyampaian pernyataan bersama ini dihadiri Sekretaris Jenderal PBNU Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan KWI Romo Agustinus Heri Wibowo, dan Sekretaris Umum PGI Pendeta Jacky Manuputty. Kemudian dihadiri juga oleh tokoh PHDI KS Arsana, tokoh Permabudhi Pandita Citra Surya, dan Ketua Umum Matakin, Xs Budi S Tanuwibowo.

PBNU menilai penyebutan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sama dengan membongkar kembali falsafah bangsa yang sudah selesai. Karena itu, PBNU menilai, sebaiknya RUU HIP ditarik saja.

Sekretaris Jenderal PBNU, Helmy Faishal Zaini menyampaikan, perumusan Pancasila melalui proses yang sangat luar biasa. Bagi NU, Pancasila merupakan titik temu adanya berbagai macam perbedaan pendapat, ras, dan golongan. Pada Munas Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo menyatakan konsepsi kebangsaan kenegaraan bahwa Pancasila dan NKRI adalah bentuk final.

"Maka dalam konteks itu kita semua dikagetkan dengan munculnya perdebatan tentang RUU HIP, menurut hemat kami kalau ini (RUU HIP) diteruskan maka akan melahirkan satu keadaan yang kontraproduktif di tengah situasi kita sedang menghadapi Covid-19," kata Helmy.

Dalam rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Kamis (2/7), Menkumham Yasonna Laoly mengatakan, menurut UU, pemerintah mempunyai waktu 60 hari untuk merespons. Menurut dia, pemerintah terus mengkaji, dan akan menindaklanjuti masukan melalui penghapusan pasal atau rapat pembahasan bersama.

"Pemerintah masih punya jangka waktu panjang sejak diserahkan DPR," kata Yasonna.

Yasonna menjelaskan, sejumlah opsi yang bisa dilakukan pemerintah antara lain bisa melalui mekanisme daftar penghapusan pasal-pasal tertentu. Kemudian bisa juga dengan menyurati DPR dalam membentuk rapat bersama untuk melakukan pembahasan kelanjutan RUU HIP.

"Nanti kita lihat perkembangannya. Pemerintah masih mempunyai jangka waktu yang panjang, masih ada waktu sejak diserahkan oleh DPR," ujarnya.

photo
Kontroversi RUU HIP ditengah Pandemi Covid-19 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement