Kamis 02 Jul 2020 19:15 WIB

Bawaslu: Penegakan Hukum Tindakan Politik Uang Repot

Persoalan mengenai politik uang harus ditangani dari hulu hingga hilir. 

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Ketua Bawaslu RI, Abhan
Foto: Republika TV/Muhamad Rifani Wibisono
Ketua Bawaslu RI, Abhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abhan mengatakan, tindakan politik uang akan meningkat pada Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19 karena kondisi ekonomi masyarakat yang menurun. Akan tetapi, kata dia, penegakan hukum atas politik uang berlangsung repot dan ada kendala.

"Dalam praktik, ketika unsur pemberi dan penerima sama-sama kena hukum, penegakan hukumnya agak repot, ada kendala," ujar Abhan dalam diskusi virtual 'Politik Uang di Pilkada 2020: Madu vs Racun?', Kamis (2/7).

Dia mengatakan, penegakan hukum tindakan politik uang disebut repot karena salah satunya sulit menghadirkan saksi, terutama saksi penerima. Sebab, menurut Abhan, orang tidak mau menjadi saksi atau pelapor karena akan kena ketentuan pelanggaran hukum sebagai pihak penerima.

Abhan menjelaskan, Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatur terkait justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penyidik atau jaksa penuntut umum dalam mengungkap kasus. Sedangkan, hal tersebut belum pernah diterapkan selama gelaran pilkada yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Artinya, bahwa biasanya yang sudah kita tuntaskan sampai proses peradilan itu karena tertangkap tangan, tapi kalau mengandalkan adanya laporan orang yang terima tentu itu ada persoalan kesulitan," kata Abhan.

Dikatakannya, UU Pilkada mengatur dua penanganan pelanggaran politik uang yakni sanksi administrasi dalam Pasal 73 dan sanksi pidana pada Pasal 187. Kedua pasal ini pada intinya melarang calon menjanjikan uang atau materi untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan maupun pemilih.

Abhan menambahkan, money politics yang sifatnya tidak terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) itu murni masuk ketentuan pidana. Akan tetapi, kalau money politics yang dilakukan pasangan calon memenuhi TSM, Bawaslu punya kewenangan untuk memproses secara ajudikasi.

Dengan demikian, sanksi adminsitrasi yang paling berat adalah Bawaslu memberikan putusan diskualifikasi dari pencalonan. Ia menilai, persoalan mengenai politik uang harus ditangani dari hulu hingga hilir. Hulunya adalah dana kampanye.

Sehingga, dia mendorong, pengaturan yang tegas terkait dana kampanye ini. Sebab ada potensi sumbangan yang tidak jelas, sedangkan audit dana kampanye hanya audit formal, bukan audit materiil atau audit yang disepakati maupun audit kepatuhan.

Sementara, dana kampanye kandidat bisa lebih dari jumlah yang dilaporkan. Hal itu bisa dilihat dari calon yang sering memasang iklan kampanye di videotron, kegiatan sosialisasi yang terus-menerus, tetapi tidak tampak dalam laporan dana kampanye.

"Ada keterbatasan di dalam aturan auditnya adalah audit formil. Ke depan menurut kami harus didorong untuk bagaimana di dalam regulasi auditnya audit materiil," tutur Abhan.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy'ari mengatakan, memang ada keterkaitan tindakan politik uang dengan dana kampanye. Hal ini terkait persoalan biaya yang benar-benar digunakan untuk kampanye atau kegiatan yang mempengaruhi pemilih tidak dilaporkan.

"Mengapa tidak dilaporkan? Karena cara yang digunakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kampanye itu jenisnya dan metodenya diatur peraturan perundang-undangan," ujar Hasyim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement