Rabu 01 Jul 2020 23:25 WIB

Menkeu: Pembiayaan dari Lembaga Multilateral Belum Cukup

Pembiayaan lembaga multilateral tak cukup karena dampak pandemi yang besar

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020). Dalam rapat tersebut Menkeu bersama anggota Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK) memaparkan kepada Komisi XI DPR mengenai kebijakan penempatan uang negara pada bank umum dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan paparan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020). Dalam rapat tersebut Menkeu bersama anggota Komite Sistem Stabilitas Keuangan (KSSK) memaparkan kepada Komisi XI DPR mengenai kebijakan penempatan uang negara pada bank umum dalam rangka percepatan pemulihan ekonomi nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menilai bantuan pembiayaan dari lembaga multilateral untuk berbagai negara berkembang belum cukup karena kebutuhan untuk menangani dampak pandemi COVID-19 lebih besar.

“Itu tidak memadai karena kalau dilihat lebih jauh, pembiayaan akan lebih besar dibanding apa yang telah disediakan oleh institusi multilateral. Jadi mereka harus bisa menggunakan yang lainnya,” kata Menkeu di Jakarta, Rabu (1/7), dalam diskusi virtual bersama Sekretaris Jenderal PBB. Ia mengatakan bantuan yang belum memadai itu pada akhirnya memaksa berbagai negara berkembang dan berpendapatan rendah berlomba untuk menerbitkan surat utang di pasar global.

“Apakah itu mengeluarkan bond domestik atau global. Tapi sayangnya saat ini situasi keuangan global memiliki minat yang rendah,” ujarnya.

Di sisi lain, ia menyatakan ketidakpastian akibat pandemi COVID-19 membuat ironi karena minat investor cenderung rendah terhadap obligasi tersebut.

Terlebih lagi, Sri Mulyani menuturkan kondisi semakin diperberat akibat sulitnya akses terhadap pembiayaan global dan harga tinggi yang harus dibayarkan kembali oleh negara penerbit obligasi.

“Bagi negara berpendapatan rendah dan negara berkembang saat mereka mengakses pembiayaan global maka mereka harus membayarnya dengan harga yang lebih tinggi,” katanya.

Oleh sebab itu, menurut dia, sulitnya akses serta tinginya harga bagi negara berkembang dan berpendapatan rendah menunjukkan adanya diskriminasi.

“Diskriminasi itu tidak sejalan dengan apa yang kalian sebut kesempatan yang sama untuk banyak negara agar bisa mengatasi permasalahan pandemi dengan cara yang sama. Jadi akses dan harga di sini menjadi hal yang kritikal,” katanya.

Sri Mulyani pun mengatakan negara berkembang dan berpendapatan rendah tetap harus mampu keluar dari tekanan pandemi COVID-19 dengan menjadikan krisis ini sebagai suatu bentuk langkah reformasi.

“Lalu bagaimana kita mengatasinya? Yang mana itu menyebabkan negara berkembang menderita karena keterbatasan akses dan tingginya harga. Saya pikir adalah menggunakan tekanan ini sebagai kesempatan untuk melakukan reformasi,” katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement