Kamis 02 Jul 2020 06:03 WIB
Piagam Jakarta

NU, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Piagam Jakarta

Pengakuan Piagam Jakarta dalam dekrit berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 45

Presiden Sukarno membacakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di Istana Negara.

Dekrit ini dikeluarkan karena perdebatan di Sidang Majelis Konstiuante yang cukup alot dan memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai 1959. Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi. Masing-masing menyampaikan aspirasi untuk mengajukan ideologi yang akan dijadikan dasar dalam bernegara.

Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara.

Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.

Perdebatan itu akhirnya berujung pada Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:

DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI

ANGKATAN PERANG

TENTANG

KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI

ANGKATAN PERANG

Dengan ini menyatakan dengan khidmat;

Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.

Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi.

Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/

PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959

Atas nama rakyat Indonesia

Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

Soekarno.

                                            

                                            ******

Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu posisi Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.

Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.

Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaanya KH. Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan;

“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa”

Prof Hazairin mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi, karena desakan waktu.

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya.

Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.

Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut? Ide tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution, tokoh yang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Keterangan soal ini bisa dilihat dalam wawancara Jenderal AH Nasution dalam buku Islam di Mata Para Jenderal.

Jenderal Nasution pula, yang pernah mengucapkan secara tegas bahwa, “Dengan hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement