REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah penjual sepeda bekas di kawasan Pasar Rumput, Jakarta Selatan, mengaku penjualannya melonjak dua hingga lima kali lipat sejak awal Juni 2020. Mereka pun kini kewalahan mencari barang untuk memenuhi permintaan yang masih tinggi.
Pada Selasa siang (30/6) di pinggir Jalan Sultan Agung, kawasan Pasar Rumput, tampak calon pembeli tak henti-hentinya mengunjungi sejumlah lapak sepeda bekas di sana. Mulai dari anak muda hingga orang tua datang silih berganti.
"Lonjakan pembeli ini terjadi sejak selesai Lebaran," kata Zainal (48 tahun), pemilik salah satu lapak sepeda bekas di pinggir Jalan Sultan Agung, Selasa (30/6).
Zainal mengatakan, ini adalah lonjakan pembeli tertinggi yang pernah ia rasakan sejak mulai berjualan sepeda bekas di sana tahun 1992. "Sampai-sampai nyari barang susah sekali sekarang," ucapnya.
Lonjakan pembeli itu tampak dari jumlah penjualan Zainal per pekan. Sebelum Lebaran ia hanya bisa menjual sekitar tiga sepeda per pekan. Kini penjualannya bisa mencapai 15 unit sepeda per pekan. Bahkan, saat akhir pekan, dalam sehari saja ia bisa menjual hingga lima unit sepeda.
Untuk memenuhi permintaan yang tinggi itu, Zainal kini juga menyediakan sepeda baru. Tapi menyediakan sepeda baru juga tak kalah sulitnya dengan menyediakan sepeda bekas. "Permintaan memang tinggi, jadi mau beli sepeda baru itu kita harus bersaing juga dengan toko-toko besar," ucapnya.
Tingginya permintaan, lanjut dia, juga turut membuat harga jual sepeda melonjak hingga 50 persen dari biasanya. Terutama sepeda lipat dan sepeda gunung yang merupakan jenis sepeda paling diminati.
"Misalnya sepeda lipat (bekas) sekarang paling murah Rp 1,5 juta, padahal dulu itu cuma Rp 700 ribu. Sepeda gunung juga seperti itu, ada yang naik dari Rp 2 juta jadi Rp 3 juta," kata Zainal di depan lapaknya.
Menurut Zainal, lonjakan permintaan ini terjadi karena bersepeda sedang menjadi tren. Musababnya, menurut dia, karena masyarakat ingin tetap sehat dan bersepedalah pilihan yang paling memungkinkan lantaran adanya kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Tapi sepeda ini trennya naik turun. Kali ini trennya paling cuma sampai tiga bulan seusai lebaran, jadi cuma 2 bulan lagi ini," ucapnya.
Pedagang sepeda bekas lainnya di pinggir Jalan Sultan Agung, Andri (49 tahun), juga mengutarakan hal serupa. Penjualannya naik dua kali lipat sejak usai Lebaran. Dari yang bisanya sekitar 10 unit per pekan menjadi 20 unit per pekan.
Omzetnya pun melonjak, berbanding lurus dengan penjualan. Dari Rp 10 juta per pekan, naik jadi Rp 20 juta per pekan. Terkadang omzetnya bisa lebih tinggi lantaran harga jual sepeda juga naik sekitar 50 persen.
Adapun jenis sepeda yang paling diburu pembeli, kata Andri, adalah jenis sepeda lipat dan sepeda gunung. "Sejak Lebaran saya sudah jual sekitar 100 sepeda lipat, baik itu bekas maupun baru," ucapnya.
Andri memang turut menyediakan sepeda baru. Alasannya sama, yakni karena semakin sulit mendapatkan sepeda bekas.
Terkait tren sepeda yang saat ini sedang ‘booming’, Andri meyakini penyebabnya adalah karena diterapkannya kebijakan PSBB. Ia pun khawatir tren sepeda ini tak akan bertahan lama. "Jangan-jangan habis virus corona ini (peminat sepeda) sepi lagi," ujarnya.
Lonjakan permintaan sepeda juga dirasakan toko sepeda yang menjual barang baru. Sejumlah toko sepeda di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, kini bahkan sudah kehabisan stok. Terutama sepeda lipat yang tengah jadi primadona.