REPUBLIKA.CO.ID,INDRAMAYU -- Ancaman kekeringan mulai kembali melanda areal persawahan di Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Petani pun telah merogoh kocek yang dalam untuk mengupayakan agar tanaman mereka bisa tetap selamat.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Waryono, menyebutan, saat ini ada sekitar 1.300 hektare tanaman padi yang terancam mati akibat kekeringan. Kondisi itu tersebar di empat desa di Kecamatan Kandanghaur, yakni Desa Karangmulya, Karanganyar, Wirakanan dan Wirapanjunan.
Berdasarkan pantauan di Desa Karangmulya, sejumlah areal pertanian sudah tidak terlihat lagi genangan airnya. Permukaan tanah yang ditumbuhi tanaman padi pun terlihat mulai mengeras dan retak-retak.
Begitu pula dengan saluran irigasi yang memanjang di pinggir areal persawahan, kondisinya juga terlihat mengering. Sedangkan tanaman padinya, meski masih berwarna hijau, namun mulai menunjukkan ada bagian daunnya yang mengering karena kurang air.
‘’Umur tanaman padinya beragam, rata-rata antara 1 – 1,5 bulan,’’ kata Waryono kepada Republika.co.id, Senin (29/6).
Waryono mengatakan, kondisi kekeringan yang terjadi di wilayahnya itu sudah berlangsung sekitar 20 hari, seiring dengan hujan terakhir yang mengguyur wilayah tersebut. Sedangkan pasokan air irigasi, disebutnya tak pernah sampai ke wilayahnya.
Untuk menyelamatkan tanaman padi dari ancaman kekeringan, Waryono menyatakan, para petani di keempat desa itu telah mengupayakan berbagai cara. Mulai dari menyedot air sungai dengan mesin pompa, membuat sumur pantek hingga membuat sibel (mengupayakan air dalam).
‘’Untuk mengupayakan air itu, petani harus mengeluarkan modal tambahan,’’ tutur Waryono.
Untuk menyedot air sungai, Waryono mengaku modal yang dikeluarkan petani memang tak terlalu besar. Hanya kurang dari Rp 50 ribu per jam penyedotan. Namun sayangnya, penyedotan air sungai kini tak bisa lagi dilakukan. ‘’Sungainya sekarang sudah kering, airnya habis,’’ tukas Waryono.
Upaya lain, yakni membuat sumur pantek dengan biaya sekitar Rp 1,5 juta. Namun, air yang keluar dari sumur pantek itu berasa asin sehingga tidak cocok untuk tanaman padi.
Sedangkan untuk membuat sibel, lanjut Waryono, biaya yang dikeluarkan petani sangat besar. Yakni sekitar Rp 15 juta untuk kebutuhan pengairan di lahan seluas dua hektare.
Dengan membuat sibel, air yang keluar dari dalam tanah memang tidak berasa asin. Namun selain mahal, air yang keluar dari kedalaman yang cukup dalam itu juga debitnya kecil.
Setelah melakukan berbagai upaya itu, Waryono menuturkan, para petani sekarang hanya bisa pasrah. Mereka berharap pemerintah cepat membantu agar pasokan air irigasi bisa segera sampai ke wilayahnya.
‘’Kalau sepuluh hari lagi air tidak datang, tanaman padi bisa mati,’’ keluh Waryono.
Hal senada diungkapkan salah seorang petani di Desa Karangmulya, Kasad. Dia meminta agar pemerintah membantu petani agar tidak lagi kekurangan air.
Di lahan seluas satu hektare, Kasad menanam padi yang kini usianya sudah sekitar satu bulan. Modal yang dikeluarkannya hingga saat ini sudah sekitar Rp 8 juta, termasuk untuk membayar sewa lahan yang digarapnya itu.
‘’Saya juga sudah melakukan pemupukan pertama. Kalau tanamannya sampai mati gara-gara kekeringan, semua modal yang saya keluarkan akan sia-sia. Nantinya saya juga tidak bisa memperoleh pendapatan dari hasil panen,’’ keluh Kasad.
Terpisah, Wakil Ketua KTNA Kabupaten Indramayu, Sutatang, membenarkan adanya sejumlah wilayah yang kini sudah mulai mengalami kekeringan. Salah satunya di Kecamatan Kandanghaur.
‘’Petani di sana sudah tidak mendapat suplai air,’’ tandas Sutatang.