Senin 29 Jun 2020 20:25 WIB

Waspada Penggunaan Obat Covid-19 yang Kini Laku Keras

Dexamethasone laku keras di pasar setelah disebut bisa mengobati Covid-19.

Peneliti di Inggris mendapati pemberian dexamethasone dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien Covid-19 yang sakit parah.
Foto: AP
Peneliti di Inggris mendapati pemberian dexamethasone dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien Covid-19 yang sakit parah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Mabruroh, Antara

Para peneliti di Oxford University belum lama ini menyimpulkan bahwa obat Dexamethasone mampu menyelamatkan hidup pasien Covid-19. Penelitian ini telah diumumkan pada 16 Juni lalu.

Baca Juga

Dexamethasone adalah obat yang biasa digunakan untuk mengurangi peradangan akibat sejumlah penyakit, seperti radang sendi. Dexamethasone terkenal sebagai obat warung yang dijual murah dan gampang ditemukan.

'Kabar baik' seusai Dexamethasone disebut ampuh obati Covid-19 juga sampai ke Indonesia. Kalangan pedagang di Pasar Pramuka, Jakarta Timur, misalnya, pekan lalu menyebutkan penjualan Dexamethasone semakin meningkat.

"Banyak konsumen saya yang bilang obat ini ampuh untuk Covid-19. Mereka tahunya setelah membaca berita di media massa dan media sosial," kata salah satu pedagang di Pasar Pramuka, Nando (41) di Jakarta, Kamis (18/6).

Obat Dexamethasone pada awalnya jarang dicari masyarakat sebab tergolong sebagai obat keras dan hanya diperdagangkan di beberapa toko obat tertentu saja. Nando biasa menjual Dexamethasone pada kisaran harga Rp20-35 ribu per boks yang berisi 200 butir obat.

"Belinya obat ini juga harus pakai resep dokter," katanya.

Nando mengatakan obat untuk radang tenggorokan itu mulai banyak dibeli oleh pedagang daring dari Pasar Pramuka. Pedagang lainnya Pradita (32) juga mengatakan, Dexamethasone saat ini banyak diborong konsumen.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menjelaskan, jika melihat buku pedoman organisasi kesehatan dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa Dexamethasone kelompok kortikosteroid yang awalnya tidak direkomendasikan diberikan kepada  pasien Covid-19.

"Kemudian hasil riset terbaru dari Eropa yaitu recovery trial yang menyebutkan (Dexamethasone) memberikan dampak positif pada pasien-pasien Covid-19 karena menurunkan mortalitas dan pada pasien yang menggunakan ventilator atau oksigen. Jadi obat ini berguna pada pasien dengan kondisi berat yang menggunakan alat bantu oksigen," ujarnya saat mengisi diskusi virtual  di akun Youtube Badan Nasional Penanggulangan Bencana bertema 'Penggunaan Dexamethasone, Hidroksiklorokuin', Senin (29/6).

Karena itu, dia melanjutkan obat Dexamethasone direkomendasikan digunakan pada pasien berat yang menggunakan terapi oksigen ventilator. Kendati demikian, dia melanjutkan, pasien dengan kondisi berat namun terlambat mendapatkan obat ini juga tidak terlalu bagus kondisinya.

Sementara itu, ia menyebutkan jika obat ini digunakan di pasien yang kondisinya ringan juga tidak memberikan manfaat. Bahkan, bisa menimbulkan efek samping.

"Tetapi ini kan kesimpulan satu atau dua orang ya. Perlu dilihat lagi penggunaannya pada pasien (Covid-19) yang lainnya," kata Agus.

Kemudian terkait penggunaan Hidroksiklorokuin, Klorokuin untuk Covid-19, Agus menyebutkan lima organisasi profesi kesehatan termasuk pihaknya telah mengeluarkan sikap mengenai penggunaan obat ini pada April 2020. Terapi hidroksiklorokuin hanya bisa  pada pasien berusia dewasa dibawah 50 tahun dan tidak memiliki masalah jantung.

"Kemudian harus diberikan pada pasien rawat inap, tidak boleh rawat jalan. Obat ini juga tidak menimbulkan efek samping yang berat," katanya.

Agus menegaskan, masyarakat tidak boleh menggunakan obat ini sembarangan. Penggunaan dua obat ini hanya berdasarkan rekomendasi dokter, tentunya berdasarkan indikasi yang sudah ditetapkan.

"Misalnya yaitu penggunaan Dexamethasone hanya pada pasien berat yang membutuhkan alat bantu napas atau ventilator dan yang membutuhkan terapi oksigen," ujarnya.

Pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menegaskan, Hidroksiklorokuin, Klorokuin, dan Dexamethasone adalah obat keras. Artinya obat ini tidak diperjualbelikan secara bebas dan penggunaannya harus berdasarkan resep dokter.

Direktur Registrasi Obat BPOM Rizka Andalucia menjelaskan, pihaknya memberikan persetujuan darurat untuk Hidroksiklorokuin dan Dexamethasone. Kendati demikian, pihaknya meminta obat-obatan ini harus melalui uji klinis kemudian dipantau keamanannya. Selain itu, obat ini hanya bisa digunakan pada masa pandemi Covid-19.

"Tetapi sebenarnya tiga obat ini (obat malaria Hidroksiklorokuin, Klorokuin, dan obat anti inflamasi Dexamethasone) sebelumnya telah mendapatkan izin edar BPOM sebagai obat keras yang mendapatkan logo lingkaran berwarna merah, artinya obat itu hanya boleh dibeli dengan resep dokter. Jadi hanya digunakan sesuai petunjuk dokter dan penggunaannya berdasarkan resep dokter," ujar Rizka.

BPOM mengimbau masyarakat tidak mendapatkan tiga jenis obat ini secara bebas karena harus dengan resep tenaga medis dan di bawah pengawasan dokter. Ia menegaskan, semua penggunaan obat harus berdasarkan indikasi dokter untuk penggunaan tiga jenis obat tersebut. Selain itu, ia meminta masyarakat membeli di sarana pendistribusian farmasi yang legal, baik apotek, atau rumah sakit.

"Kami mengimbau masyarakat tidak membeli sembarangan. Kami juga mohon kepada masyarakat tidak membeli lewat dalam jaringan (daring) yang tidak bertanggung jawab sehingga keamanannya tidak  dijamin," ujarnya.

photo
dexamethasone - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement