REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Utama (Sestama) Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Karjono, memaparkan kronologi dan latar belakang rancanangan undang-undang halauan ideologi Pancasila (RUU HIP) yang telanjur menjadi polemik nasional. Menurut Karjono, RUU HIP sebenarnya bertujuan untuk memperkuat kelembagaan BPIP yang bertugas melaksanakan pembinaan ideologi Pancasila.
Pasalnya, saat ini berdirinya BPIP hanya berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2019. Karena itu, ia mendukung pengesahan RUU HIP agar BPIP bisa diperkuat.
“Penguatan pelembagaan pembinaan ideologi Pancasila menurut aturan yang ada sangat dimungkinkan. Kelembagaan yang ada saat ini dilandasi oleh peraturan presiden. Tentu masih membutuhkan penguatan agar fungsinya lebih maksimal. Pencantuman TAP MPRS XXV 1966 (tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia) patut untuk dimasukkan," kata Karjono dalam webinar bertema 'RUU Haluan Ideologi Pancasila: Penguatan atau Degradasi' di Jakarta pada Ahad (28/6) malam WIB.
Pengamat dari FISIP UIN Syarif Hidatullh Jakarta, Zaki Mubarok, menyebutkan, terjadinya polemik RUU HIP merupakan proses yang harus dipahami sebagai pencarian titik keseimbangan dari dua golongan ekstrem. “Tidak dicantumkannya TAP MPRS XXV 1966 dan munculnya istilah trisila dan ekasila dipandangan bahwa RUU HIP bersifat sekuler. Secara substansi ditengarai sebagai tindakan yang mencoba memonopoli tafsir terhadap nilai-nilai Pancasila,” ucap Zaki.
Dosen Universitas Pamulang (Unpam), Tohadi, selaku narasumber webinar menjelaskan, penguatan kelembagaan pembinaan Pancasila sangat diperlukan karena tantangan yang dihadapi bangsa ini makin berat. Hal itu seiring dengan arus informasi yang sulit dikendalikan, difasilitasi oleh kemajuan teknologi. Namun, ia menekankan, DPR perlu lebih peka terhadap aspirasi masyarakat dalam membahas RUU HIP.
Karena proses yang singkat, RUU HIP malah menjadi polemik di masyarakat. “Jika dilakukan revisi menjadi RUU kelembagaan pembinaan, kemungkinan penolakan tidak sebanyak seperti sekarang. Ini yang paling mungkin untuk dilakukan sebagai titik kompromi,” kata Tohadi.