Senin 29 Jun 2020 03:04 WIB

Pengungsi Rohingya di Aceh Masih Tidur Beralaskan Tikar 

Kondisi pengungsi Rohingya membaik, tapi ada kendala kesehatan kulit dan pencernaan.

Rep: Fergi Nadira / Red: Agus Yulianto
Sejumlah etnis Rohingya menunggu di ruangan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan dan identifikasi di tempat penampungan sementara di bekas kantor Imigrasi Punteuet, Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (26/6/2020). Hasil identifikasi dan pemeriksaan tes diagnosa cepat (rapid test) COVID-19 menyatakan sebanyak 99 orang etnis Rohingya dinyatakan non reaktif. ANTARA FOTO/Rahmad/pras
Foto: ANTARA FOTO/RAHMAD
Sejumlah etnis Rohingya menunggu di ruangan setelah menjalani pemeriksaan kesehatan dan identifikasi di tempat penampungan sementara di bekas kantor Imigrasi Punteuet, Blang Mangat, Lhokseumawe, Aceh, Jumat (26/6/2020). Hasil identifikasi dan pemeriksaan tes diagnosa cepat (rapid test) COVID-19 menyatakan sebanyak 99 orang etnis Rohingya dinyatakan non reaktif. ANTARA FOTO/Rahmad/pras

REPUBLIKA.CO.ID, LHOKSEMAUWE -- Pemerintah Indonesia telah menyelamatkan 99 orang migran etnis Rohingya yang memasuki perairan Aceh Utara, Rabu (24/6). Keputusan ini dilandasi oleh prinsip-prinsip kemanusiaan. 

Para pengungsi berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dan sangat membahayakan keselamatan jiwa mereka. Para pengungsi saat ini ditampung di bekas Kantor Imigrasi Lhoksemauwe, Aceh dan masih tidur dengan beralaskan tikar sebab bantuan kasur belum tiba.

"Kondisinya mulai membaik, hanya ya masih ada kendala kesehatan kulit dan pencernaan. Karena terlalu lama dalam kapal, dan tidak teratur makan," ujar Direktur Yayasan Geutanyoe, yang berbasis di Aceh, Rima Shah Putra kepada Republika, Ahad.

"Mereka masih terpaksa tidur di atas tikar dan lantai, menunggu bantuan kasur," ujarnya menambahkan. 

Masyarakat Aceh Utara dan Lembaga Sosial Masyarakat Indonesia juga aktif memberikan bantuan kemanusiaan. Yayasan Geutanyoe bersama perkumpulan Suaka mengapresiasi setinggi-tingginya tindakan masyarakat Aceh yang mendaratkan perahu para Pengungsi Rohingya dari perairan Aceh Utara.

"Masyarakat Aceh juga berterima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Bupati Aceh Utara untuk memberikan penampungan dan tindakan terhadap pengungsi yang membutuhkan perawatan medis," ujar Rima.

Rima mengatakan, hingga kini pihaknya tengah melakukan penggalangan dana. Untuk kali ini, dia mengatakan bekerja sama dengan pemerintah daerah (Pemda) setempat, dengan memberikan saran kepada Pemda bagaimana menangani para pengungsi ini, terutama belajar dari pengalaman penanganan 2015 dan 2018.

"Geutanyoe sendiri in-process delivery 100 unit kasur dan bantal, sederhana. Sekedar pelengkap menunggu penempatan di lokasi baru yang lebih layak," kata Rima.

Geutanyoe juga bekerja dengan tetap menjaga koordinasi baik dengan Pemda, maupun UNOCHa, UNHCR, IOM, koalisi sipil nasional, dan lembaga-lembaga kemanusiaan nasional dan lokal.

Sementara itu menurut Ketua Pendiri Yayasan Suaka Rizka Argadianti Rachmah, kolaborasi antara masyarakat sipil dan pemerintah sangat penting dalam situasi seperti ini. Sebab, menurutnya masyarakat sipil bisa lebih cepat bergerak ketika birokrasi masih berproses.

Pemerintah Indonesia dalam hal ini memastikan  berlakunya protokol kesehatan guna mencegah penularan virus korona tipe baru atau Covid-19 di kalangan migran etnis Rohingya. Pelaksana Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI Teuku Faizasyah mengatakan, Kemenlu bekerja bersama Pemerintah Daerah setempat dalam hal ini berkerja sama dengan Badan PBB untuk Urusan Pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organisastion and Migration (IOM).

Pihak-pihak tersebut akan segera melakukan upaya-upaya lebih lanjut terkait penanganan 99 orang migran etnis Rohingya. "Fokus utama sekarang adalah pemenuhan kebutuhan dasar, pemberian penampungan sementara, dan pelayanan kesehatan," ujar Faiza saat dihubungi Republika.

Otoritas Indonesia juga tengah menyelidiki kemungkinan adanya unsur penyelundupan manusia sehingga migran ireguler tersebut menjadi korban. Penyelundupan manusia adalah kejahatan yang harus dihentikan dan memerlukan kerja sama kawasan dan internasional.

Perjalanan laut yang tidak aman ini dipastikan akan terus terjadi sepanjang akar masalah tidak diselesaikan. Bagi Indonesia, upaya menciptakan kondisi kondusif di Rakhine State penting untuk terus dilakukan agar etnis Rohingya dapat kembali secara sukarela, aman dan bermartabat di rumah mereka, di Rakhine State.

Dalam pertemuan informal para menteri luar negeri ASEAN atau Asean Ministerial Meeting (AMM) secara virtual beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi juga sempat menyinggung soal boat people atau manusia perahu yang tidak lain adalah para pengungsi Rohingya yang berupaya kabur dari kamp-kamp pengungsi menggunakan kapal. 

"Saya menekankan bahwa mereka (para pengungsi-red) lagi-lagi menjadi korban penyelundupan dan perdagangan manusia. Oleh karnea itu untuk mencegah yang berarti prevenetif measures, mencegah mereka untuk melakukan perjalanan lauy yang dapat membahayakan kehidupan mereka," ujar Menlu Retno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement