REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Center for Indonesian Policy Analysis (CIPA) kembali mengupas buku bertajuk "Governansi Nusantara: Jejak Kosmopolitanisme dalam Sejarah Kepemerintahan di Indonesia". Buku itu buah pemikiran Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Anwar Sanusi dan Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Brawijaya, Fadillah Putra.
Anwar Sanusi menjelaskan, pola interaksi manusia saat ini kian dinamis dan komplek dengan adanya arus globalisasi. Oleh karena itu, konsep kosmopolitan hadir tidak hanya untuk memberikan dasar-dasar etika, tetapi juga memberikan dasar bagi tata pengelolaan sektor publik.
"Maka, buku ini menawarkan sebuah gagasan Cosmopolitan Governance, yaitu konsep pengelolaan tata pemerintahan yang berorientasi pada penemuan nilai-nilai yang bisa diterima secara universal," kata Anwar dalam diskusi daring di channel YouTube CIPA yang dilihat, Sabtu (27/6).
Agar dapat diterima secara universal, Anwar menjelaskan, nilai tersebut harus dibangun dari tingkat bawah dan tersebar. Untuk itu, diperlukan pendekatan budaya daerah dan sejarah (lokal), untuk dapat disebarluaskan secara global.
Menurut Anwar, Cosmopolitan Governance berupaya memperkuat landasan dan prospek pengembangan strategi pengelolaan pemerintahan di masa depan. Konsep ini mengajarkan seluruh manusia berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal.
"Nilai dasar tersebut harus dapat ditemukan pada tataran etika, moral, politik dan filsafat yang menjadi dasar praktik-praktik kehidupan manusia di keseharian," ujarnya.
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan, sejak periode pertama Presiden Joko Widodo telah memiliki arah kebijakan dan strategi yang mengarah pada konsep kosmopolitanisme. Presiden, ujar dia, telah memberdayakan pemerintahan dan masyarakat di level desa.
"Desa tidak boleh lemah, karena dari desa-lah yang menjadi dasar pembangunan Indonesia," kata Jaleswari.
Seiring perkembangan teknologi, dia mengakui, tantangan dalam mengambil kebijakan publik pasti selalu ada. Dia mengatakan, konsep Cosmopolitan Governance juga harus tetap bersatu padu dengan pancasila sebagai dasar falsafah negara.
"Maka kita perlu merumuskan peran lembaga apa untuk meningkatkan efektivitas dan stabilitas pemerintah ke depan," ujarnya.
Dengan adanya buku itu, dia berharap, dapat memberi masukan pada sistem tata kelola pemerintahan untuk terus melakukan perbaikan. Dia menekankan, pentingnya gotong-royong dan mengedepankan kearifan lokal pada era disrupsi. Sebab, sebagai negara besar, Indonesia harus mempu bersaing dengan negara lain tanpa kehilangan jati diri bangsa.
"Untuk menjalankan visi besar itu, kita membutuhkan sistem pemerintahan yang kapabel, profesional, cepat, dan berorientasi pada perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," kata Jaleswari.
Fadillah Putra menjelaskan, kosmopolitanisme dapat memberikan tata kelola pemerintahan yang lebih terukur. Fadil mengatakan, terdapat lima keluaran (output) yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan fisik (badani) di luar ketentuan hukum. Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama. Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum. Kelima, keselamatan profesi.
"Lima hal inilah output (sekaligus indikator) dari tegaknya prinsip kosmopolitanisme dalam sebuah governansi," ujar Fadil yang juga anggota Dewan Pakar CIPA.