Jumat 26 Jun 2020 07:40 WIB

Teringat Saling Provokasi di Tahun Vivere Pericoloso 1965

Saling provokasi sangat tidak produktif bagi perbaikan ekonomi di tengah pandemi

Buku berisi pidato Presiden Sukarno yang mempoplerkan istilah Vivere Pericoloso.
Foto: google.com
Buku berisi pidato Presiden Sukarno yang mempoplerkan istilah Vivere Pericoloso.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan RI

Di tengah kesulitan kehidupan ekonomi, provokasi terhadap rakyat semakin meningkat. Suhu politik dibuat semakin memanas. Kesulitan ekonomi rakyat dan provokasi yang bertubi tubi. Keadaan sekarang ini seperti ini mirip keadaan tahun 1965 sebelum Peristiwa G30S/PKI. Biasa disebut mematangkan kandungan atau kehamilan.

Pada saat yang bersamaan yakni setahun sebelumnya yakni tahun 1964, kala itu juga ada istilah Vivere Pericoloso. Frasa ini menjadi terkenal sejak Presiden Soekarno mempidatokannya pada hari ulang tahun kemerdekaan RI tahun tersebut. Istilah ini berasal dari  bahasa bahasa Italia yang berarti "hidup menyerempet bahaya". Tapi dalam bahasa Italia, kalimat yang benar adalah vivere pericolosamente.

Berbagai tuduhan dengan menggunakan istilah-istilah  dan jargon-jargon tertentu diarahkan kepada lawan lawan politik, dan tangan penguasa diarahkan untuk memenjarakan lawan lawan politik PKI. Dulu, tahun 1960-an, parpol dan ormas yang dimusuhi PKI dibubarkan penguasa dan para pimpinannya di jebloskan ke penjara. Umumnya tanpa proses peradilan. Masyumi, PSI dan Murba adalah parpol parpol yang dibubarkan.

Tuduhan-tuduhan itu biasanya diikuti dengan teror. Saat itu tuduhan-tuduhan yang digunakan adalah anti Nasakom, anti revolusi, komunistopobi, dan lain-lain. Lalu tokoh tokoh yang disasar (ditarget) dijebloskan ke penjara. PKI yang sedang berjaya selalu bermain fitnah dengan cara berlindung kepada Presiden Soekarno. Agitasi dan propaganda adalah senjata harian PKI dan ormas ormas jaringannya. Pokoknya situasi politik dibuat hiruk-pikuk tidak menentu.

Tampaknya pola yang serupa 1965 kini sedang terjadi atau dimainkan.  Kini tentu tidak mudah menunjuk hidung siapa aktornya. Sebab dulu masih ada PKI dan organisasi-organisasi onderbouw-nya tapi kini semua tanpa bentuk sehingga  biasa disebut OTB (organisasi tanpa bentuk).

Aktor pemainnya tidak selalu nampak. Yang dimainkan bisa jadi  tidak sadar dan lebih celaka lagi kelompok yang bodoh yang hanya ikut ikutan bermain.  Kini provokasi demi provokasi terus dilancarkan dengan berbagai cara bahkan menggunakan buzzer berbayar dan medsos.

Setelah provokasi dahsyat RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), disinyalir provokasi-provokasi lain akan terus saling menyusul sampai benar benar situasi politik panas dan meletus. Istilah tahun 1965, ibu pertiwi hamil tua.

Kini tiba-tiba kita melihat baleho baleho besar Presiden Soekarno Pemimpin Besar Revolusi (PBR) di jalan protokol. Baleho PBR ini bisa memancing baleho-baleho lain seperti: Presiden Suharto adalah Bapak Pembangunan Nasional, Presiden BJ Habibie Bapak Teknologi Indonesia. Presiden SBY Bapak Demokrasi, dan berbagi baleho serupa lainnya.

Tentu kita berharap agar pancingan bailik baleho PBR itu tidak berhasil.

Entah kebetulan atau tidak, tiba tiba muncul lagi provokasi lain, yaitu usulan masa jabatan presiden diubah menjadi 8 tahun. Tentulah gagasan ini akan meningkatkan suhu politik.

Sekali lagi, bukan untuk mengusut siapa aktor atau provokatornya atau agitatornya, tapi sudah dapat diduga kegiatan-kegiatan yang tidak produktif ini akan terus berlanjut, sehingga pemerintah menjadi semakin sulit mengatasi masalah ekonomi. 

Meski yang paling di provokasi umat Islam, tapi bisa jadi yang paling diuntungkan dari provokasi ini justru umat Islam. Lihatlah sikap umat islam yang bulat bersatu padu menghadapi RUU HIP, baik MUI, NU, Muhammadiyah, HMI, ICMI, FPI, dan lainnya. Mereka solid menolak Pancasila yang sedang diobok-obok.

Sebagai penutup, entah kebetulan atau tidak, kejadian sekarang yang mirip mirip dengan suasana sebelum Peristiwa G30S/PKI ini, bertepatan pula dengan Pemerintah Pusat yang sedang mempunyai hubungan mesra dengan Pemerintah China. Dulu, 1965, dengan sebutan Poros Djakarta- Peking yang dikawal Menteri Subandrio. Kini disebut Jakarta- Beijing. Dulu kutub politik dunia yang  bersitegang Washington DC- Moskow, kini Washington DC- Beijing.

Wallahualam bissawab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement