Kamis 25 Jun 2020 23:40 WIB

BNPT Perlu Bantuan Ulama dalam Pencegahan Terorisme

BNPT menemukan kelompok radikal yang seolah-olah berjuang demi agama.

Pelantikan Kepala BNPT. Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Boy Rafli Amar.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Pelantikan Kepala BNPT. Inspektur Jenderal (Irjen) Pol Boy Rafli Amar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan ulama memiliki peran penting untuk mempersatukan bangsa lewat dakwahnya. Dakwah yang disampaikan dengan nuansa keindonesiaan dapat dijadikan semangat oleh umat agar lebih memahami nasionalisme dan keagamaan.

Boy Rafli mengatakan BNPT akan terus mempererat silaturahim dengan tokoh agama maupun tokoh masyarakat untuk menyebarkan pesan-pesan damai yang dapat mengeratkan persatuan bangsa ini.

"Di tengah gelombang intoleransi yang kini banyak ditemukan di tengah masyarakat, tentunya hal ini penting untuk dilakukan dalam mengatasi hal itu," ujar Boy Rafli ketika menerima kunjungan KH Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah di Kantor BNPT, Jakarta, Kamis.

Menurut Boy Rafli, BNPT memerlukan bantuan dari para ulama dalam hal pencegahan penyebaran paham radikal terorisme. Selama ini pihaknya menemukan bahwa kelompok-kelompok radikal bersikap seolah-olah berjuang atas nama agama.

"Dari temuan-temuan yang kita lihat selama ini, mereka itu seolah-olah berjuang atas nama agama, berjihad atas nama agama. Namun, ternyata tindakan-tindakan yang dilakukan itu seperti tindakan orang yang tidak memiliki akhlak yang beragama," katanya.

Pada kesempatan itu Gus Miftah memberi saran bahwa untuk mencegah penyebaran paham radikal terorisme perlu ditekankan bahwa sesungguhnya nilai-nilai keindonesiaan dan Pancasila berkesinambungan dengan agama.

Gus Miftah menyatakan sering mensyiarkan Islam Nusantara, Islam dengan karakteristik Indonesia. Menurut dia, ketika agama dan budaya diletakkan secara benar maka akan menjauhkan agama dari kekerasan.

"Maka dakwah yang saya lakukan adalah membudayakan agama, bukan mengagamakan budaya. Pemahaman yang seperti ini jika kita sampaikan dengan bahasa milenial yang sederhana lebih bisa diterima di kalangan masyarakat terutama di generasi muda," ujar kiai muda itu.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement