Kamis 25 Jun 2020 20:29 WIB

Ampuhkah Sanksi Bagi Pelanggar Protokol Kesehatan?

Pemerintah harus menggencarkan sosialisasi dan terus mengedukasi masyarakat.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Friska Yolandha
Petugas menyemprotkan cairan penyanitasi aktif tanpa alkohol (Berry C Active Sanitizer Water) menggunakan mesin fogging di salah satu toko elektronik di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (16/6/2020). Penyemprotan cairan penyanitasi aktif tanpa alkohol dengan teknologi terbaru tersebut untuk mencegah penyebaran COVID-19 pada masa transisi normal baru
Foto: Antara/Moch Asim
Petugas menyemprotkan cairan penyanitasi aktif tanpa alkohol (Berry C Active Sanitizer Water) menggunakan mesin fogging di salah satu toko elektronik di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (16/6/2020). Penyemprotan cairan penyanitasi aktif tanpa alkohol dengan teknologi terbaru tersebut untuk mencegah penyebaran COVID-19 pada masa transisi normal baru

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair) Laura Navika Yamani mengatakan sanksi hukum bisa saja diterapkan terhadap masyarakat yang melanggar protokol kesehatan. Namun, ia menilai hal itu tak akan bertahan lama.

Laura mencontohkan, bisa saja Satpol PP datang dan menjaga lingkungan kemudian warga akhirnya memakai masker wajah. Akan tetapi ketika petugas pergi ternyata masyarakat kembali membukanya.

Baca Juga

"Karena petugas tidak mungkin 24 jam berjaga. Di awal-awal memang perlu (aparat berjaga) supaya penerapan protokol kesehatan terinternalisasi ke masyarakat tanpa harus disuruh, karena ini buat kesehatan mereka juga," ujarnya, Kamis (25/6).

Ia menilai pemerintah perlu bersinergi dalam menerapkan sanksi. Ia meminta adanya sinergitas, yaitu pemerintah jangan hanya mengimbau, memberikan aturan tetapi justru yang melakukan pelanggaran. Ia mencontohkan saat acara car free day hingga seremonial ulang tahun DKI Jakarta beberapa waktu lalu, ternyata ia mendapati pemerintah berfoto tanpa menjaga jarak.

"Artinya harus ada contoh dari pemangku kebijakan, jangan-jangan pemerintah tidak melakukan protokol kesehatan dan ini membuat kepercayaan masyarakat berkurang. Karena kebijakan dan aturan memang dari otoritas, tetapi pemerintahnya malah tidak menerapkannya sehingga jadi kontradiksi," katanya.

Karena itu, ia meminta harus ada langkah penanganan yang lebih tepat termasuk sosialisasi. Misalnya, Pemda Jatim termasuk pemerintah Kota Surabaya telah memiliki program kampung tangguh, desa tangguh, industri tangguh, kemudian pasar tangguh untuk menekan Covid-19. Kendati demikian, ia meminta pemerintah daerah tidak kendor dan terus melakukan edukasi kepada masyarakat. Ia menyebutkan penyuluhan juga dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat di level bawah bahkan hingga tingkat RT/RW. 

"Karena mungkin mereka (aparat RT/RW) lebih didengar daripada tokoh di pemerintahan pusat atau daerah," ujarnya.

Selain itu, ia meminta pemerintah daerah menyampaikan sosialisasi dengan bahasa daerah atau sesuai budaya masyarakat Jatim, misalnya lewat kesenian ludruk.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement