Rabu 24 Jun 2020 05:40 WIB

Jakarta Menuju Megapolitan

Jakarta diharapkan bisa mengembangkan wilayahnya hingga Puncak dan Cianjur.

Kendaraan melintas di dekat mural bertema Hari Ulang Tahun (HUT) ke-493 DKI Jakarta di kawasan Tebet, Jakarta, Selasa (23/6). Pemerintah Provisi DKI Jakarta mengangkat tema Jakarta Tangguh pada perayaan HUT DKI Jakarta tahun 2020 untuk menunjukkan Jakarta sebagai kota yang tangguh dalam menghadapi pandemi COVID-19. Republika/Putra M. Akbar
Foto:

Adalah lumrah bila sebuah daerah berkembang dari masa ke masa. Perkembangannya dapat berupa pemekaran ataupun penggabungan. Demikian pula dengan Jakarta, yang pada 22 Juni 1527 menjadi tonggak awal kelahirannya.

Itulah momen tatkala pasukan Fatahillah asal kerajaan Demak berhasil mengalahkan tentara Portugis dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Sunda Kelapa atau Jayakarta hanya sebuah pelabuhan dan permukiman ramai di sekitaran Muara Kali Ciliwung.

Belanda yang berhasil mengalahkan Jayakarta pada 1619 kemudian menggantinya dengan nama Batavia. Batavia pada mulanya hanya seluas Kota Tua yang kini ada di Jakarta Utara. Seiring waktu, kota terus meluas ke selatan.

Nama Batavia dipakai hingga zaman pendudukan Jepang yang mengubahnya jadi Jakarta. Pascakemerdekaan, Jakarta melebihi daya tampungnya. Kepadatan penduduk menjadi yang tertinggi di Indonesia, mengakibatkan persoalan sosial dan lingkungan hidup.

Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) dibuat pening karena meledaknya laju urbanisasi pada akhir dekade 1960-an. Ia sempat melontarkan penutupan Jakarta bagi pendatang, tapi tak berjalan efektif.

Lalu, Bang Ali menggagas pembentukan Masterplan 1965-1985 untuk membangun megapolitan Jabotabekjur (Jakarta-Bogor-Tangerang- Bekasi-Cianjur). Pada 1976, gagasan itu diperluas menjadi BKSP Jabotabek lewat Inpres No 13 Tahun 1976. Pada 1994, dibangun lembaga BKSP Jabotabek berdasarkan Peraturan Bersama Pemprov Jawa Barat dan DKI Jakarta No 8 Tahun 1994. (Dorodjatun Kuntjoro Jakti; 2007).

Gubernur Jakarta Sutiyoso (1997-2007), dalam bukunya Megapolitan (2007) menegaskan konsep megapolitan sebenarnya buah pikiran yang dicetuskan sejak era Bung Karno, tertuang dalam Penetapan Presiden RI No 71 Tahun 1966. Namun, rumusan megapolitan kala itu kandas karena penolakan daerah tetangga serta sejumlah tokoh/pakar.

Megapolitan dinilai hanya menguntungkan Jakarta. Harapan mengembangkan megapolitan tampak saat Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur pada 13 April 2020.

Perpres No 60 Tahun 2020 menekankan, kawasan perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur yang selanjutnya disebut kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur merupakan kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi yang terdiri atas kawasan perkotaan inti dan kawasan perkotaan di sekitarnya.

Di tengah pembahasan revisi UU No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI serta rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur, kiranya patut juga dibuka wacana penguatan pemerintahan Jabodetabek ke depan, terutama melalui konsep megapolitan.

Sepanjang sejarah perjalanan otonomi daerah, 100 persen daerah hanya berlomba untuk dimekarkan, belum terjadi penggabungan daerah. Diharapkan, lahir regulasi yang menyerap aspirasi warga Jabodetabek, yang bisa meng atasi persoalan Jakarta dan Bodetabek. Sebab, menyelesaikan kesulitan Jakarta berarti mengatasi perkara daerah di sekitarnya. Selamat ulang tahun Jakarta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement