Kamis 18 Jun 2020 11:29 WIB

Legislator Sesalkan Pencabutan Larangan Ekspor APD

Seharusnya pemerintah mengkaji pasokan dan kebutuhan APD di dalam negeri terlebih dul

Rep: Ali Mansur / Red: Agus Yulianto
Dalam rangka mempercepat penanganan pandemi Covid-19, Bea Cukai Kendari memberikan berbagai kemudahan untuk importasi alat pelindung diri, alat kesehatan, dan obat-obatan untuk masyarakat. (Ilustrasi)
Foto: istimewa
Dalam rangka mempercepat penanganan pandemi Covid-19, Bea Cukai Kendari memberikan berbagai kemudahan untuk importasi alat pelindung diri, alat kesehatan, dan obat-obatan untuk masyarakat. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Amin Ak menyesalkan, dicabutnya larangan ekspor masker dan alat pelindung diri (APD) oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). Keputusan Kemendag melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.57 Tahun 2020 tentang Ketentuan Ekspor Bahan Baku Masker, Masker, dan Alat Pelindung Diri (APD) dinilai terkesan terburu-buru.

"Seharusnya pemerintah mengkaji pasokan dan kebutuhan di dalam negeri terlebih dulu secara lebih detail, sebelum mencabut larangan eskpor," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu dalam keterangan tertulisnya, Kamis (18/6).

Sebab faktanya, kata Amin AK, masih banyak rumah sakit, puskesmas, klinik, dan tenaga medis yang kesulitan memperoleh APD berkualitas dengan harga terjangkau. Jadi, mestinya pemerintah menghentikan impor APD karena masih banyak pelaku industri dalam negeri yang mengeluh APD buatannya tidak terserap oleh pasar karena banyaknya beredar APD impor. 

“Kelebihan pasokan APD di dalam negeri, karena banyaknya APD impor dan produksi lokal dianggap belum memenuhi standar,” kata Amin menambahkan.

Menurut Amin AK, pencabutan larangan ekspor APD sebagai keputusan yang gegabah, mengingat kasus positif Covid-19 di dalam negeri masih sangat tinggi. Bahkan cenderung meningkat. Dalam beberapa hari terakhir penambahan kasus positif  berkisar antara 900-1.200 orang per hari. Seiring meningkatnya jumlah warga yang terinfeksi Covid-19, maka kebutuhan APD pun diperkirakan bakal meningkat.

"Kalau ekspor dibuka lebar dan kebutuhan di dalam negeri kembali melonjak, maka tenaga medis di dalam negeri akhirnya dihadapkan pada dua pilihan, terpaksa membeli produk impor yang harganya mahal atau membeli produk non standar," ungkapnya.

Selain itu, Amin AK menilai, kebijakan membuka izin ekspor ini dapat memicu kenaikan harga APD di dalam negeri. Apalagi bila pasokan di dalam negeri menurun akibat kebijakan ini, dan pada saat yang sama demand meningkat. Kemendag harus ingat bahwa Baju Hazmat yang tidak standard dapat menyebabkan Tenaga Kesehatan tertular Covid-19 melalui pori-pori bahan APD.

"Kita pernah mengalami krisis ketersediaan APD (baju hazmat, masker, face shield dan bahan bakunya) terutama selama Maret hingga April 2020. Meski ketersediaannya saat ini jauh lebih baik, namun perhitungan untuk kebijakan ekspor harus cermat," tegas Amin AK.

Kata Amin AK, banyaknya kasus Tenaga Kesehatan yang tertular Covid-19 disebabkan karena APD yang tidak standard. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, hingga 7 Juni 2020 ada 32 Dokter di Indonesia yang wafat akibat Covid-19. Ini termasuk jumlah korban tertinggi di dunia. Bahkan salah satu yang wafat akibat Covid-19 di Surabaya adalah perawat yang sedang hamil. Di Nusa Tenggara Barat, ada 66 Tenaga Kesehatan yang terjangkiti Covid-19. 

Amin mengingatkan amanah UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan tentang Pelarangan Ekspor Barang untuk menjaga  Kepentingan Nasional serta melindungi kesehatan dan keselamatan manusia (Pasal 50 ayat 2). Bila akibat kebijakan pencabutan larangan eskpor ini, terjadi kenaikan harga APD dan masker di dalam negeri, pemerintah dapat berpotensi melanggar UU No.7/2014 tentang Perdagangan pasal 25, 26 dan 54.

"Pasal 25 UU Perdagangan mengamanahkan pemerintah untuk mengendalikan barang penting bagi rakyat dari 3 hal, yaitu pasokan, mutu dan harga. Bila mutu APD dalam negeri jadi berkurang atau harga APD jadi melonjak akibat Permendag ini, pemerintah harus bertanggungjawab," tuturnya.

Sedangkan, sambung Amin AK, pasal 26 UU Perdagangan mewajibkan pemerintah menjaga ketersediaan dan stabilitas harga barang pokok/barang penting untuk kebutuhan dalam negeri, pada situasi khusus atau adanya gangguan. Saat pandemi ini, berlaku situasi khusus dimana pemerintah tak boleh gegabah mengambil kebijakan.

"Sementara di Pasal 54 UU Perdagangan tersebut menyebutkan kewajiban pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait ekspor harus menjaga stabilitas harga dalam negeri, pasal 54 ayat 2," tutup legislator asal Jawa Timur itu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement