REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Air merupakan salah satu komponen di kosmos, baik dalam arti mikrokosmos maupun makrokosmos. Di dalam konspesi Hindu dan Budha, air menjadi salah satu dari lima unsur pembentuk jagat raya atau dikenal dengan sebutan Panca Maha Butha
"Oleh karena itu, air merupakan unsur pembentuk, baik pada makrokosmos maupun mikrokosmos. Air itu penting bagi kosmos, baik di jagat raya maupun manusia," Arkeolog dari Universitas Negeri Malang (UM), Dwi Cahyono dalam kegiatan diskusi daring yang diselenggarakan Ecoton Foundation, beberapa waktu lalu.
Di masa prasejarah, air acap dijadikan pertimbangan bagi spesies homo sapiens untuk menetapkan area pemukiman. Hal ini terlihat dengan adanya temuan manusia purba di Pulau Jawa seperti di Sangiran, Jawa Tengah, Ngawi, Jawa Timur dan sekitar aliran Brantas. Temuan ini membuktikan adanya hubungan kuat antara manusia dan air sebagaimana dalam konsepsi kosmos.
Ada banyak beragama sumber data tentang air di masa Hindu-Budha di Nusantara. Tidak hanya sumber tekstual, tapi juga tercantum dalam bukti artefak. Bahkan, pembahasan air turut terekam dalam sumber tradisi lisan di beberapa daerah.
Ritual berhubungan dengan air tercatat dalam tradisi bersih desa di tepian sumber air. Ritual ini bisa saja dalam bentuk menguras sumber air lalu mengisi kembali dengan yang bersih. Kegiatan yang salah satunya dilakukan di Simbatan Wetan, Magetan ini acap dilaksanakan secara periodik.
Pengelolaan air di masa lampau terekam pertama kali dalam prasasti Tugu. Sumber tekstual ini ditulis pada masa Kerajaan Tarumanegara sekitar abad ke-5 Masehi. Prasasti tersebut memuat informasi tentang pembuatan dua sungai yang salah satunya dikenal dengan Kali Cakung Lama.
"Yang mengalir dari Jakarta Timur (Jaktim) sampai Jakarta Utara, bermuara ke Marunda melewati Tugu Utara dan Tugu Selatan," ucap Dwi.
Yang menarik justru tertera dalam prasasti di Polowijen, Kota Malang. Prasasti yang dikeluarkan di masa Raja Mpu Sindok ini menjelaskan berbagai perangkat distribusi air. Salah satunya tentang perangkat distribusi air di atas permukaan tanah yang disebut torong atau talang.
Ada pula instalasi air yang berfungsi meninggikan debit air yang kemudian dibagi ke dalam saluran air atau weluran. Menurut Dwi, instalasi ini di masa Mpu Sindok acap disebut sebagai dawuhan. Sampai saat ini masih sering dijumpai dusun atau desa yang memiliki nama tersebut.
"Jika mendapatkan nama desa dengan Dawuhan, maka sangat mungkin di daerah itu terdapat adanya instalasi air yang kini disebut bendungan," jelas Dwi.
Berdasarkan temuan dan sumber data yang tersedia, Dwi menilai, masyarakat di masa lalu telah mengelola air secara birokratis. Pemerintah suatu kerajaan biasanya akan menunjuk pejabat yang bertugas mengelola instalasi sumber air atau sungai. Jabatan ini dikenal dengan sebutan mantri ulu-ulu atau joko tirto.
Pengelolaan Air di Masa Kini
Jika air menjadi salah satu prioritas keraajan di masa lampau sehingga ditunjuk satu jabatan secara spesifik, maka bagaimana saat ini? Apakah ada ada upaya tegas yang dilakukan pemerintah dalam mengelola air sehingga tidak tercemar? Nyatanya, kualitas air maupun sungai di era kini tidak menunjukkan hasil yang membahagiakan.
Direktur Ecoton Indonesia, Prigi Arisandi mengungkapkan, terdapat 84 titik timbunan popok di 37 kabupaten/kota. Lokasi-lokasi tersebut tersebar di enam provinsi, di Pulau Jawa. Ditambah lagi, World Bank pada September 2017 menyebutkan 21 persen sampai di laut Jawa berjenis popok.
Ecoton mengira, popok hanya fenomena di Jawa Timur (Jatim), Tapi, faktanya terjadi di seluruh provinsi di Pulau Jawa. "Bahkan kemarin dapat kontak juga dari temen di Sulawesi, mereka punya problem sama, popok ini harus diapakan," ujar Prigi.
Beberapa tumpukan sampah popok terlihat di area Cilincing, Jakarta Timur, Sindangrasa di Bogor, Kali Bahagia Bekasi dan Teluk Naga, Tangerang. Dari fenomena ini, Prigi memastikan popok menjadi masalah serius sehingga disebut 'popokisme'. Sampah ini akan terlihat jelas di musim kemarau lalu tersapu ke lautan saat musim penghujan.
Ecoton mengungkapkan, sebagian besar sampah popok terjadi di sungai utama dengan status nasional. Sejumlah di antaranya seperti di Ciliwung, Cisadane, Cimanuk, Kali Brantas dan sebagainya. Dari sini, Ecoton berpendapat, masalah sampah popok tidak hanya kewenangan provinsi tapi nasional.
Prigi menilai tidak ada upaya penanganan masalah sampah popok dengan baik sampai saat ini. Sebagian besar termasuk pemerintah menganggapnya sebagai sampah residu. Padahal popok termasuk sampah yang harus ditangani khusus sehingga dibutuhkan kontainer yang lebih spesifik.
Popok dianggap berbahaya karena 50 persen bahannya mengandung plastik. Ditambah lagi terdapat bahan Polietilena (PE) yang dapat mengakibatkan perubahan genetik di ikan dan kanker pada manusia. Ada pula bahan Polyurethane yang dapat berdampak buruk pada biota air, penurunan berat badan, kelumpuhan dan kematian. Popok juga mengandung Sodium Poliakrilat (SAP) yang bisa menyerap kelembaban dari kulit sehingga mengakibatkan ruam.
"Ini kalau terbuang ke sungai dan terurai akan menjadi ancaman serius bagi lingkungan," ucap Prigi.
Prigi menilai pemerintah pasif dalam menangani sampah popok plastik di Indonesia. Pemerintah tak kunjung menyediakan kontainer khusus popok. Mereka juga belum menyiapkan standar popok yang aman digunakan.
Pemerintah juga dianggap tidak mempunyai upaya preventif dan penegakan hukum yang tegas terhadap masalah sampah popok. Problem air dinilai masih belum menjadi skala prioritas pemerintah hingga detik ini.
Sungai juga dinilai tidak mendapatkan ruang cukup sehingga acap mengalami sumbatan di salurannya. "Ini seharusnya peran PU PR (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat), peran pemerintah untuk memberikan warning dan sanksi terhadap masyarakat yang tidak memberikan ruang-ruang pada sungai," kata Prigi.
Kritik yang dikeluarkan Ecoton dan sejumlah aktivis tidak lepas dari kepeduliannya terhadap lingkungan. Sebab, air pada dasarnya bukan semata-mata menjadi sumber kehidupan manusia. Adalah ikan yang kehidupannya terancam saat ini akibat ulah manusia.