Jumat 12 Jun 2020 10:50 WIB

New Normal Dinilai Sebagai Ketergesa-Gesaan

Mencegah kerusakan ekonomi merupakan paradigma kebijakan yang keliru di masa pandemi.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Fuji Pratiwi
Direktur Ideas Yusuf Wibisono (kanan). Ideas menilai langkah pemerintah mendorong adopsi new normal adalah sebuah ketergesa-gesaan.
Foto: IDEAS
Direktur Ideas Yusuf Wibisono (kanan). Ideas menilai langkah pemerintah mendorong adopsi new normal adalah sebuah ketergesa-gesaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dinilai bisa membayar sangat mahal jika tetap memaksakan new normal saat pandemi Covid-19 belum reda. Sebab, Tidak ada artinya perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi jika hal itu akan membahayakan.

Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono menilai langkah pemerintah mendorong adopsi new normal adalah sebuah ketergesa-gesaan. Ideas memahami argumen umum yang mendasari new normal yang sangat beresiko ini adalah kebutuhan tinggi untuk menyelamatkan perekonomian, mencegah kebangkrutan bisnis, menekan pengangguran dan menahan kemiskinan massal.

Baca Juga

Kejatuhan ekonomi yang besar di kuartal I 2020 dan pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sepanjang April-Mei terutama di tiga metropolitan pusat ekonomi nasional (Jabodetabek, Bandung Raya, dan Surabaya Raya), telah membuat pemerintah berkeras untuk mengadopsi new normal pada Juni demi mencegah kerusakan ekonomi yang lebih masif.

Namun ini adalah paradigma yang keliru tentang kebijakan ekonomi di masa pandemi. New normal secara jelas meningkatkan aktivitas ekonomi, sedangkan penanggulangan pandemi mengharuskan penurunan interaksi sosial.

"Maka, mempromosikan ekonomi di tengah pandemi sama dengan membunuh nyawa lebih banyak. Tidak ada artinya perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi jika hal itu akan membahayakan," kata Yusuf melalui siaran pers, kemarin.

Pertumbuhan ekonomi hanyalah alat. Sementara tujuan akhir yang harus dikejar adalah kualitas dan kebahagiaan hidup masyarakat, dimana faktor terpenting yang berkontribusi untuk itu adalah tetap hidup, dan tidak mati karena pandemi. 

Meski implementasi PSBB di empat provinsi dan 72 kabupaten-kota mampu menekan tingkat penyebaran Covid-19, tapi pandemi Covid-19 belum tertanggulangi. Bahkan kerap mencetak rekor penambahan kasus harian.

Sebelum implementasi PSBB (2 Maret-5 April) penambahan kasus harian rata-rata 65 kasus. Bulan pertama pasca PSBB (6 April-5 Mei) angka ini meningkat tajam rata-rata 327 kasus dan bulan kedua pasca PSBB (6 Mei-5 Juni) semakin melonjak rata-rata 563 kasus. Dengan kapasitas pengujian (testing) yang masih rendah, penambahan kasus diperkirakan masih akan tinggi, bahkan mungkin melonjak.

Dengan baru menguji 0,09 persen penduduk, kasus positif Covid-19 Indonesia telah menembus 34 ribu kasus. "Maka membuka kembali aktivitas ekonomi dan interaksi sosial adalah sebuah eksperimen yang sangat berbahaya," kata Yusuf.

Yusuf menambahkan, jika kapasitas pengujian Indonesia setara Brazil yang telah menguji 0,31 persen penduduknya, dengan rasio kasus per pengujian yang sama, kasus riil Covid-19 berpotensi hingga 98 ribu kasus. Jika kapasitas pengujian setara Malaysia (1,15 persen) atau Turki (1,78 persen), kasus riil berpotensi menembus 367-569 ribu kasus.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement