Kamis 11 Jun 2020 02:21 WIB

KPPPA: Pengasuhan Berbasis Hak Anak Harus Terus Didorong

Pengasuhan anak disebut harus memenuhi hak-hak anak.

Ilustrasi.
Foto: PUSPA PERWITASARI/ANTARAFOTO
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin mengatakan pengasuhan berbasis hak anak harus terus didorong untuk mencapai Indonesia Layak Anak (Idola) 2030.

"Pengasuhan anak harus memenuhi hak-hak anak, misalnya diurus akta kelahirannya, anak tidak dikawinkan, dan gizi dipenuhi," kata Lenny dalam sebuah seminar daring yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang diikuti dari Jakarta, Rabu (10/6).

Lenny mengatakan tidak semua orang tua dan keluarga di Indonesia ternyata peduli dengan hak sipil anak, yaitu mendapatkan akta kelahiran.

Menurut data, baru 73,77 juta dari 79,5 juta anak di Indonesia yang sudah memiliki akta kelahiran. Itu berarti masih ada hampir 6 juta anak di Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran.

"Padahal, anak yang tidak memiliki akta kelahiran tidak bisa mengakses berbagai layanan publik, termasuk pendidikan. Itu berpotensi melanggar hak anak yang lain, yaitu pendidikan," tuturnya.

Perkawinan anak, kata dia, juga menjadi salah satu isu yang mengkhawatirkan dalam pengasuhan anak. Padahal, katanya, dampak perkawinan anak sangat banyak, mulai dari anak putus sekolah, pekerja anak, permasalahan kesehatan reproduksi pada anak perempuan yang dikawinkan, hingga pengasuhan anak yang lahir dari orang tua yang masih anak-anak.

"Anak juga berhak mendapatkan gizi yang baik. Anak tidak tahu makanan yang dia makan bergizi atau tidak, jadi perlu peran orang tua atau pengasuhnya untuk memastikan pemenuhan gizi anak," katanya.

Riset Kesehatan Dasar 2018 menyatakan 30,8 persen anak Indonesia mengalami stunting, sementara 17,7 persen anak mengalami gizi kurang dan 10,2 persen anak tumbuh kurus.

Survei Status Gizi Balita 2019 menyatakan 27,67 persen anak Indonesia mengalami stunting, 16,29 persen anak mengalami gizi kurang, dan 7,44 persen anak tumbuh kurus.

"Survei BPS yang paling menyedihkan karena pembelanjaan peringkat pertama pada rumah tangga miskin adalah untuk beras, dan yang kedua untuk rokok. Bagaimana memenuhi gizi anak?" katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement