REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan anggaran penanganan Covid-19 yang berjumlah Rp 677,2 triliun, pemerintah diminta mengelola anggaran penanganan Covid-19 secara transparan dan akuntabel. Penggunaan anggaran penanganan corona harus ditujukan untuk kepentingan rakyat serta tidak disalahgunakan untuk kepentingan dan keuntungan pihak tertentu. Direktur Eksekutif Institute for Action Against Corruption (IAAC) Dodi Lapihu mengatakan, jumlah anggaran ini besar karena krisis kesehatan akibat pandemi sudah menjalar menjadi krisis ekonomi yang memberikan dampak kepada semua lapisan masyarakat.
Jika hal ini tidak diwaspadai, ia khawatir Indonesia akan sampai pada fase krisis keamanan. Oleh karena itu, kata dia, anggaran corona dibutuhkan untuk penanganan pandemi sekaligus mengantisipasi dampak yang terjadi di tengah masyarakat.
"Namun, masyarakat sipil harus tetap peka dan kritis terhadap kebijakan pemerintah di masa pendemi ini. Walaupun dibatasi oleh protokol kesehatan, tapi tidak menyurutkan semangat kita untuk bergerak mencegah tindakan korupsi," tegasnya dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (9/6).
Sebelumnya, pada tanggal 4 Juni 2020, IAAC bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) dan BEM Universitas Trisakti mengadakan Webinar dengan topik 'Arah Gerakan Antikorupsi di tengah Pandemi'. Hadir sebagai narasumber Benydictus Siumlala (Dikyanmas KPK RI), Sahat MP Sinurat (Sekretaris Umum DPP GAMKI), Nisa Rizkiah (Peneliti ICW), dan Dodi Lapihu (Direktur Eksekutif IAAC). Webinar tersebut dipandu oleh Dinno Ardiansyah (Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti).
Dalam pengantar diskusinya, perwakilan Dikyanmas KPK RI, Benydictus Siumlala memaparkan bahwa di masa pandemi, banyak sekali bantuan dan uang yang sudah beredar di masyarakat.
"Ada banyak sekali peraturan dan kebijakan yang sudah dibuat di masa pandemi ini. Gerakan antikorupsi di era pandemi ini seharusnya mempunyai tujuan yang lebih jelas yakni mengawasi kebijakan dan anggaran yang digunakan untuk penanganan pandemi," katanya.
Menurut Benydictus, hal yang perlu disoroti adalah situasi pandemi yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
"Seperti yang kita ketahui peristiwa yang terjadi di Kabupaten Klaten, dimana bantuan sosial seperti handsanitizer yang bergambar wajah Bupati. Juga pergerakan DPR di tengah pandemi, alih-alih fokus pada penanganan pandemi malah mengesahkan Undang-undang Minerba," kata dia.
Sekretaris Umum DPP GAMKI, Sahat MP Sinurat dalam pengantar diskusinya membahas Perppu 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi UU No 2 Tahun 2020. Menurut Sahat, situasi pandemi yang dinamis memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan dengan cepat sehingga itu alasan lahirnya UU No. 2 Tahun 2020.
"Undang-undang ini dibutuhkan dalam kondisi darurat. Pada UU ini, penyelenggara yang diatur di dalam UU tersebut tidak bisa dipidana, selama melakukan itikad baik. Ketika terjadi penyalahgunaan wewenang dan ada potensi tipikor dalam pengelolaan dana bencana, masyarakat harus mengawasi dan melaporkannya. Kita tetap bisa memakai pasal-pasal dalam undang-undang lainnya untuk menjerat pelaku korupsi,” kata Sahat.