Selasa 09 Jun 2020 00:05 WIB

Aksi Bela Floyd, Waketum MUI: Muslim Tentu akan Terdampak

Umat Muslim, terlepas dari ras dan warna kulit, wajib membela mereka yang terdzalimi.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Agus Yulianto
Muhyiddin Junaidi
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Muhyiddin Junaidi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kematian seorang pria Afrika-Amerika bernama George Floyd di tangan seorang polisi kulit putih di Minneapolis telah mendorong munculnya aksi bela dan unjuk rasa dan di Amerika Serikat (AS). Sejumlah aktivis dan komunitas Muslim Amerika juga turut memainkan peran.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (Waketum MUI) KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, turut sertanya umat Muslim Amerika dalam aksi tersebut, mewakili representasi Islam sebagai agama yang menjunjung keadilan. Dia juga menganggap, umat Muslim, terlepas dari ras dan warna kulit, wajib membela mereka yang terdzalimi.

"Saya rasa umat muslim baik kulit hitam maupun putih wajib membela saudara mereka yang terdzalimi, ikut membela dan shalat berjamaah sebelum aksi itu merupakan sebuah tindakan yang sangat dihargai karena keikutsertaan mereka merepresentasikan Islam sebagai agama yang menjunjung penegakkan keadilan," ujar Muhyiddin saat dihubungi Republika, Ahad (7/6).

Di sisi lain, Muhyiddin tidak menampik akan hadirnya imbas bagi umat Muslim setelah aksi ini terjadi. Meski begitu, dia berharap efek samping itu tidak menimbulkan sesuatu yang merugikan umat Muslim di Amerika.

"Saya mengatakan efek samping dari aksi itu sudah pasti ada, tapi sejauh mana dampaknya semoga aja tidak membahayakan," katanya.

Dalam sejarah Amerika, perjuangan atas ketidakadilan rasial telah memunculkan gerakan hak-hak sipil. Gerakan hak sipil itu dipelopori terutama oleh warga kulit hitam di Amerika. Sejarah mencatat peran dari Muslim kulit hitam Amerika yang berada di garis depan dalam perang melawan ketidakadilan yang dialami warga negara non-kulit putih.

Selama bertahun-tahun, banyak Muslim kulit hitam terkemuka yang muncul dalam gerakan hak-hak sipil. Muslim kulit hitam memang berada dalam keadaan yang sangat sulit. Namun, mereka tetap berperan untuk memperjuangkan kesetaraan dan hak masyarakat.

Di sisi lain, Presiden Nusantara Foundation, Imam Shamsi Ali, menyampaikan, Islamofobia bukan barang baru di Amerika Serikat, karena Islamofobia adalah catatan historis negara Amerika Serikat. Islamofobia menjadi sangat tampak saat terjadi tragedi 11 September 2001.

"Tapi tragedi 11 September ini hanya puncaknya saja. Karena seolah-olah bangsa Amerika Serikat saat itu telah menemukan pembenaran bahwa yang dituduhkan pada Islam saat itu adalah benar," kata Imam Shamsi saat Halal bi Halal Nasional JATTI, Sabtu (6/6).

Direktur Jamaica Muslim Center di New York ini mengatakan, Islam dituduh sebagai agama kekerasan dan sebagai agama teroris di Amerika Serikat. Ternyata Amerika Serikat diserang teroris dan kebetulan itu adalah orang-orang Islam, maka 11 September dijadikan sebagai pembuktian tuduhan-tuduhan kepada Islam selama ini.

Imam Shamsi menyampaikan, sebelum peristiwa 11 September, yang banyak memeluk Islam adalah Afro Amerika yang ada di penjara. Setelah peristiwa 11 September, yang banyak memeluk Islam adalah kalangan Latin yakni orang-orang Hispanik.

"Mereka (Hispanik) orang-orang muda, berpendidikan, profesional, sehingga Islam semakin dikenal bukan saja secara kuantitas tetapi yang terpenting adalah secara kualitasnya, ada dua orang wanita Muslimah yang terpilih menjadi kongres dan membuat catatan sejarah baru dalam sejarah Amerika Serikat," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement