REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mengatakan, dugaan adanya pihak-pihak di Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) dalam kasus dana hibah KONI layak didalami. Hal itu disampaikan oleh JPU KPK Ronald Worotikan dalam sidang kasus dana hibah KONI dengan terdakwa Miftahul Ulum.
Dalam persidangan, kata JPU KPK Ronald Worotikan, terdakwa menyatakan bahwa selain adanya penerimaan uang tersebut, ternyata terdakwa selaku asisten pribadi Imam Nahrawi mengaku pernah menerima sejumlah uang dari Dwi Satya untuk diberikan kepada pihak Kejaksaan Agung dan pihak BPK. "Terkait dengan keterangan terdakwa tersebut, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut," katanya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (4/6).
Ulum dituntut 9 tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider 6 bulan kurungan karena dinilai terbukti menjadi operator lapangan aktif penerimaan suap sebesar Rp11,5 miliar dan gratifikasi sebesar Rp8,648 miliar. Seluruh suap dan gratifikasi itu, menurut jaksa, dinikmati Imam Nahrawi.
Dalam persidangan sebelumnya, Ulum sempat menyatakan bahwa anggota BPK Achsanul Qosasi menerima Rp3 miliar dan mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Adi Toegarisman menerima Rp7 miliar terkait dengan kasus penyaluran dana hibah dari Kemenpora ke KONI.
Dwi Satya yang dimaksud Ulum adalah teman kuliah Ulum dan merupakan pengusaha alat perang. Dwi Satya, menurut Ulum, mengumpulkan uang sekitar Rp3 miliar sampai Rp5 miliar karena kebutuhan ke Kejagung waktu itu sebesar Rp7 miliar.
"Karena keterangan tersebut adalah keterangan yang berdiri sendiri dan di luar dari materi dakwaan yang harus dibuktikan oleh penuntut umum," kata jaksa Ronald.
Namun, lanjut dia, keterangan terdakwa tersebut menambah keyakinan penuntut umum bahwa penerimaan uang tidak sah dari pihak lain untuk kepentingan Menpora melalui terdakwa selaku asisten pribadi Menpora telah berulang kali terjadi di lingkungan Kemenpora. Dalam persidangan juga terungkap fakta hukum bahwa Imam Nahrawi memang sudah mengetahui sejak awal mengenai adanya permintaan uang yang dilakukan oleh Ulum.
Pengetahuan tersebut, kata JPU, menjelma menjadi suatu kehendak dari Imam Nahrawi selaku Menpora. Menurut jaksa, Imam tidak pernah mengembalikan atau menolak uang-uang yang sudah diterima terdakwa untuk kepentingannya. Bahkan, seolah-olah Imam melakukan pembiaran dan tidak memberikan sanksi kepada terdakwa selaku aspri.
"Padahal, Imam selaku Menpora memiliki wewenang pengawasan melekat kepada anak buahnya, termasuk terdakwa," kata jaksa Ronal menambahkan.
Hal tersebut didukung dengan fakta hukum bahwa Imam pernah mendapatkan laporan langsung terkait adanya permintaan uang dari Ulum yang mengatasnamakan Imam dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015—2016 Lina Nur Hasanah.
Dalam persidangan, lanjut jaksa, Lina Nurhasanah pernah menyampaikan langsung kepada Imam selaku Menpora terkait dengan temuan BPK RI mengenai keuangan Kemenpora terkait dengan penggunaan anggaran Satlak PRIMA yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Dalam laporan tersebut Lina menyampaikan kepada Imam bahwa adanya temuan BPK RI tersebut terjadi karena adanya pengeluaran yang berasal dari anggaran Satlak PRIMA untuk kepentingan Imam yang diberikan melalui terdakwa sebesar Rp50 juta—75 juta," kata JPU menjelaskan.
Selain itu, Lina juga menyampaikan kepada Imam bahwa Ulum telah menerima uang Rp2 miliar untuk keperluan membayar rumah milik Imam. Namun, Imam tidak berkomentar apa-apa. "Bahwa atas adanya laporan dari Lina tersebut, Imam Nahrawit tidak memberikan tanggapan apa-apa atau juga tidak berinisiatif untuk mengembalikan uang yang telah diterima terdakwa tersebut. Bahkan, Imam juga tidak pernah menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Pencopotan terdakwa selaku asisten pribadi Menpora setelah adanya OTT oleh KPK," kata jaksa menegaskan.