Jumat 05 Jun 2020 00:04 WIB

Muncul #BoikotWikipedia, Pembantaian 65 Bukanlah Barang Baru

Apa yang tertulis di Wikipedia itu sudah banyak yang membahas di dunia akademis.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Agus Yulianto
Bonnie Triyana
Foto: dok. pri
Bonnie Triyana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tagar #BoikotWikipedia muncul di media sosial Twitter pada Kamis (4/8). Hingga siang, tagar tersebut telah dicuit hingga belasan ribu pengguna. Usut punya usut, tagar tersebut bermula dari artikel bertajuk 'Pembantaian di Indonesia 1965 - 1966'.

Sejumlah pihak merasa tak terima dengan artikel tersebut yang menurut mereka menempatkan simpatisan PKI sebagai korban yang dibantai saat awal kepemimpinan Presiden Soeharto. Mereka bahkan menuding artikel tersebut membelokkan sejarah. 

Padahal, peristiwa tersebut bisa dibilang bukan barang baru lagi dalam perkembangan sejarah Indonesia. "Apa yang tertulis di Wikipedia itu ya memang sudah banyak yang membahas di dunia akademis, sudah berpuluh bahkan beratus artikel riset peristiwa itu," kata sejarawan Bonnie Triyana saat dihubungi Republika, Kamis (4/6).

Wikipedia sendiri merupakan laman yang informasi yang bersifat 'open source'. Artinya, semua orang bisa mengisi artikel di Wikipedia. Soal akurasi artikel,  di artikel bertajuk 'Pembantaian di Indonesia 1965 - 1966' itu sendiri telah ditulis bahwa 'Keakuratan artikel ini diragukan dan artikel ini perlu diperiksa ulang dengan mencantumkan referensi yang dapat dipertanggungjawabkan'.

Lantas bagaimana mengetahui fakta terkait pembantaian 1965 tersebut?

"Kalau di dunia akademis, itu udah entah berapa banyak tesis atau skripsi desertasi doktor udah banyak sekali tentu kamu tau itu, banyak itu," ujar Bonnie Triyana saat berbincang dengan Republika, Kamis (4/6). 

Dia menegaskan, pembantaian 1965-1966 tersebut memang benar adanya. Penangkapan, pengasingan dan pembantaian itu terjadi pada ratusan ribu simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) setelah adanya peristiwa G30S-PKI.

Secara garis besar, Pimpinan Redaksi Historia.id itu menyebut ada dua arus besar penafsiran dalam perdebatan sejarah peristiwa 1965. Kelompok pertama menitikberatkan pemberontakan dan kekejaman PKI dalam sejarah awal kemerdekaan, misalnya pemberontakan 1926, Madiun 1948, sampai G30S-PKI 1965.

Titik berat kelompok pertama ini telah diajarkan dan tertanam di buku-buku sejarah resmi pemerintah maupun buku pelajaran sejarah pelajar. Sehingga, titik berat ini diterima sebagai fakta mayoritas yang diketahui orang Indonesia. 

Setelah reformasi dan kekuasaan Soeharto berakhir, sejarah berkembang dengan tak hanya merekonstruksi peristiwa pembunuhan para jenderal pada 1 Oktober 1965. Namun, juga mengungkap apa yang terjadi setelahnya. Ini adalah fase setelah G30S-PKI, di mana para simpatisan PKI ditangkap dan dibunuh tanpa pengadilan.

Mewakili kelompok kedua ini, Bonnie menyebutkan sejumlah karya rujukan, misalnya Palu Arit di Ladang Tebu, yang merupakan buah desertasi Peneliti LIPI, Hermawan Sulistyo membahas pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI di Jawa Timur. Lalu, Geoffrey Robinson bertajuk The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66 dengan tema yang sama. 

Ada pula karya John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Kemudian, Saskia Wieringa mengungkap penghancuran Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Vannessa Hearman meneliti operasi penumpasan di Blitar, dan Jess Melvin mengungkap peran militer dalam pembantaian massal PKI di Aceh.

"Itu tentu sudah diuji kebenarannya secara akademis. Itu sudah terbukti. Jadi sebetulnya, secara akademis, kajian tentang pembantaian massal itu bukan rahasia lagi, itu sudah memang ada," kata Bonnie. 

"Saya sendiri menulis skripsi tentang itu, tentang pembantaian massal di Jawa Tengah, di Purwodadi, Grobogan," ujarnya lagi. 

Yang menjadi masalah, lanjut Bonnie, selama ini sebagian besar orang Indonesia terlalu banyak menitik beratkan pada kelompok pertama. Hal ini tak terlepas dari zaman Orde Baru yang mencekoki pelajar soal sejarah 1965 dengan titik berat kelompok pertama.

"Angkatan saya itu selalu dicekoki film G30SPKI, pelajaran sejarahnya tentang kekejaman segala macam," ujarnya. 

Yang luput dari pengajaran masyarakat, setelah peristiwa pembunuhan jenderal G30S-PKI, ada peristiwa berikutnya berupa pembantaiam massal, penangkapan tanpa pengadilan, pengasingn ke Pulau Buru, hingga pelajar yang tak bisa pulang. 

"Jadi kalau buku itu, ada prolog, bagiann tengah, dan epilog, kita cuma sampai bab tengah doang, bab terakhir tidak terbaca, jadi orang cuma tau sampai bab tengahnya aja, itu diterima sebagai sebuah kebenaran," kata Bonnie. 

"Begitu dihadirkan versi yang lain, atau tambahan, atau yang berbeda dari yang dia yakini, orang ngamuk-ngamuk," kata dia lagi. 

Bonnie memahami adanya pihak-pihak yang masih merasa sakit hati terhadap sejarah PKI dalam G30S-PKSI maupun tahun awal kemerdekaan. Terlebih pada peristiwa Madiun 1948, PKI disebut membantai ulama dan santri. Sehingga, ada seolah mewajarkan pembantaian pada PKI setelahnya. 

Ia menekankan, kedua tindakan tersebut tidak boleh dianggap wajar. "Jadi kita nggak bisa membenarkan pembunuhan jenderal itu. Nggak bisa juga kita kemudian mewajarkan penangkapan dan pembantaian karena alasan balas dendam," ujarnya. 

"Intinya, siapapun yang dibunuh atau dimatiin gara gara berbeda pandangan politik itu sudah salah. Apapun. Kalau kita terus menerus seperti ini, balas dendam, masa kita mau mewajarkan, nggak bisa dong," katanya menegaskan. 

Maka itu, Bonnie mengingatkan, kepada semua pihak untuk terbuka mendalami sejarah dari berbagai sumber kredibel, misalnya sejarawan, akademis, dan sumber kredibel lain. Meski sejarawan kadangkala terjadi perbedaan pandangan, namun mereka telah melalui metodologi dan riset yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Secara terpisah, Anggota Komisi X (Pendidikan dan Kebudayaan) DPR RI Andreas Hugo Pareira menyebut, kasus wikipedia ini merupakan “perang sejarah” Indonesia yang belum selesai. Tuduh menuduh peristiwa 1965 soal siapa dalang masih berlangsung sampai sekarang. 

"Karena dahulu sejarah peristiwa 1965 tidak pernah diungkap tuntas sehingga muncul spekulasi-spekulasi baik spekulasi akademis maupun spekulasi informasi yang coba diarahkan untuk mempertahankan diri/kelompok atau menyerang kelompok lain," ujar dia pada Republika. 

Ia mengingatkan, Wikipedia sebagai open source informasi. Kalau ada yang tidak setuju dengan satu informasi sejarah yang ditulis, Andreas menantang orang tersebut menulis dengan data dan riset yang dapat dipertanggungjawabkan. 

"Biarkan masyarakatlah yang menilai kebenaran sejarah tersebut, tanpa harus menggugat dan mematikan wikipedia yang tidak bersalah, karena dia hanya wadah," tandasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement