REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), mengharapkan Bali dapat menjadi pelopor dalam penggunaan transaksi non-tunai di sektor pariwisata. Tak hanya itu, Bali juga ditargetkan unggul dalam pengembangan inovasi dan teknologi informasi digital.
Cok Ace tidak memungkiri bahwa untuk membangun pariwisata Bali pascapandemik bukanlah hal yang mudah. Berdasarkan data statistik Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali hingga 2 Juni 2020, tingkat kesembuhan dari pasien positif COVID-19 di Provinsi Bali sebesar 69,29 persen.
"Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi kita semua. Meski jumlah kasus positif di Bali masih bertambah, namun jumlah ini relatif lebih baik dibandingkan daerah lain di Indonesia. Untuk itu, kita perlu mempersiapkan diri untuk membangun kembali perekonomian Bali, terutama pada sektor pariwisata sebagai leading sector di Bali," ujar pria yang juga Ketua PHRI Bali itu.
Cok Ace, menambahkan, implementasi protokol kesehatan pada seluruh sektor, terutama industri pariwisata, menjadi fokus utama. Salah satu komponen dalam protokol kesehatan adalah metode transaksi non-tunai.
Menurut dia, transaksi non-tunai penting untuk dilakukan karena setidaknya dua alasan. Pertama, uang tunai dapat menjadi media penyebaran virus yang harus dihentikan. Kedua, transaksi non-tunai sebenarnya merupakan metode transaksi yang efektif dan aman.
"Ini merupakan momentum yang baik bagi kita untuk mulai menggalakkan gerakan masyarakat non-tunai," ujarnya.
Meskipun demikian, diakuinya pemberlakuan transaksi non-tunai tentu memiliki tantangan tersendiri. Masyarakat Bali saat ini masih belum terlalu fasih menggunakan alat pembayaran digital.
"Mengubah pola perilaku masyarakat membutuhkan suatu pembiasaan yang dapat didorong dengan kemudahan dan manfaat bertransaksi digital. Hadirnya Bank Indonesia dengan QRIS atau Quick Response Indonesian Standard diharapkan mampu mengatasi persoalan ini dengan menyamakan sistem e-money di Indonesia," ucapnya.